Sebuah seruan untuk Wakil Rakyat dan Umat
Indonesia menangis! Negeri yang pernah dijuluki zamrud khatulistiwa yang gemah ripah loh jinawi, kini tengah terpuruk di segala bidang. Di bidang ekonomi, Indonesia kembali menjadi kelompok negara miskin dengan GNP perkapita hanya sedikit lebih banyak dari Zimbabwe, sebuah negara miskin di Afrika, dan dengan beban utang luar biasa besar. Disebut-sebut lebih dari Rp 1400 trilyun, terdiri Rp. 742 triliun utang luar negeri dan sisanya adalah utang dalam negeri (Forum, 5 Maret 2002).
Padahal, semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Wilayah perairannya sangat luas, dengan kandungan ikan yang diperkirakan mencapai 6,2 juta ton. Belum lagi mutiara, minyak dan kan-dungan mineral lainnya, termasuk di dalamnya keindahan alam bawah lautan. Dari potensi ikan saja, diperkirakan bisa didapat devisa lebih dari 8 milyar US dollar setiap tahunnya. Sementara, di daratan terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batubara dan sebagainya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak yang juga termasuk cukup besar. Kan-dungan emas di bumi Papua konon termasuk yang terbesar di dunia.
Tapi, semua orang juga tahu, kini Indonesia terpuruk di segala bidang. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan 40 juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehi-dupan bertambah berat seiring dengan kenaikan hargaharga yang terus menerus terjadi. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan mudah mendo-rongnya melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, peram-pokan, pencurian, pembunuhan, pelacuran, sampai pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Sepanjang krisis, krimi-nalitas dilaporkan meningkat 1000%, angka perce-raian meningkat 400%, sementara penghuni rumah sakit jiwa meningkat 300%.
Di sisi lain, sekalipun pemerintahan telah berulangkali berganti, tapi kestabilan politik belum juga kunjung terwujud. Bahkan gejolak politik di beberapa daerah malah terasa lebih meningkat. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Di mana letak kesalahannya? Pada sistem yang digunakan dalam menata negara Indonesia ini atau pada orang-orangnya yang kurang cakap dan kurang amanah, ataukah keduanya? Dan yang paling penting, apa yang harus kita lakukan?
Akar Masalah dan Solusi Fundamental
Dalam pandangan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan oleh karena tindakan manusia sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia. (QS. Ar Rum: 41).
Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bi ma kasabat aydi al-anas dalam ayat itu adalah “oleh karena kemaksiatan-kemak-siatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi al-naas wa dzunu bihim)”. Maksiat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan mening-galkan yang diwajibkan. Setiap bentuk kemaksiatan pasti menimbulkan dosa. Dan setiap dosa pasti me-nimbulkan kerusakan (fasad).
Selama ini, terbukti di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali ke-maksiatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, Islam hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sementara dalam urusan sosial ke-masyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedo-nistik, kehidupan sosial yang egoistik dan indivi-dualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, ke-giatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna disangka justru meng-hambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk terwujudnya kesejahteraan umum melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya. Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih.
Sementara itu, sikap beragama sinkretistik menyebabkan sebagian umat Islam telah meman-dang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT. Sedang-kan sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh yang sekaligus menguasai iptek.
Semua rakyat Indonesia tentu menginginkan agar negeri ini segera terbebas dari segala krisis yang sudah menjerat lebih dari 4 tahun ini. Masalahnya, bagaimana caranya? Sekadar mengganti pemerin-tahan terbukti tidaklah mencukupi. Semenjak krisis, sudah 4 presiden berganti-ganti memimpin Indonesia, tapi tetap saja krisis tidak kunjung berakhir. Jelas bahwa krisis ini ditimbulkan bukan hanya karena birokrat yang memimpin tidak amanah, korup dan tidak cakap, tapi juga ditimbulkan oleh buruknya sistem yang selama digunakan sebagai dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik dan paradigma pendidikan yang materialistik serta sisi kehidupan sekuler lainnya sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya sebenarnya hanyalah buah atau merupakan problema-problema cabang yang muncul dari diterapkannya sistem kehidupan sekuleristik tadi. Karena itu sistem tersebut harus diganti.
Persoalannya, sistem mana yang harus di-pilih? Memilih sistem kapitalisme sama saja dengan terus mempertahankan krisis, oleh karena sistem kepitalisme itulah yang menjadi pangkal terjadinya krisis bukan hanya di Indonesia tapi juga di negara-negara lain termasuk AS, gembong kapitalisme. Memilih sosialisme-komunisme juga tidak logis karena sistem itu telah bangkrut dan bahkan ditinggalkan para pemeluknya sendiri. Satu-satunya alternatif hanyalah Islam.
Lagi pula, mengingat beratnya persoalan atau krisis yang dihadapi, maka semua itu hanya mungkin dihadapi melalui solusi fundamental dan integral. Secara fundamental, karena semua problema yang ada sesungguhnya berpangkal pada sistem yang terlahir dari pandangan hidup yang salah, yaitu sekulerisme. Juga menghendaki solusi yang integral oleh karena kerusakan yang terjadi telah menyentuh semua sendi kehidupan manusia. Penyelesaian yang parsial tidak akan menyelesaikan secara tuntas berbagai krisis itu. Bahkan sebaliknya bisa memicu problema baru yang mungkin tidak kalah gawatnya. Solusi fundamental dan integral yang dimaksud tidak lain adalah dengan cara menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan syariat Islam.
Hakikat Syariah dan Keharusan Penerapannya
Secara bahasa, syariat (al-syarî’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-mâ’ li al istisqâ) atau jalan lurus (at-tharîq al-mustaqîm). Sedang menurut istilah, syariah bermakna: perundang-undangan yang diturunkan Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan, minuman, pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Jadi, setiap hukum yang digali dari sumber-sumber hukum Islam merupakan hukum syariat (al-ahkâm asy-syar’iyyah) atau biasa disebut syariah saja. Karena-nya, syariat Islam mencakup berbagai perkara, mulai dari cara berwudhu hingga cara mengatur masya-rakat dan negara dalam aspek sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan budaya. Jadi, yang disebut syariat Islam bukanlah sekadar sanksi hukum pidana (hudûd wal jinayat) semata, melainkan seluruh hukum bagi semua aspek kehidupan.
Maka, perjuangan bagi tegaknya syariat Islam di negeri ini jelas sangatlah penting. Secara imani, perjuangan itu merupakan tuntutan aqidah Islam. Secara faktual, sistem apalagi yang diharapkan mampu menyelesaikan krisis multidimensi yang kini tengah dihadapi Indonesia bila bukan syariat Islam, setelah sosialisme hancur dan kapitalisme terbukti makin loyo? Dan secara operasional, pemberlakuan syariat Islam kiranya juga akan nyambung dengan denyut nadi iman atau keyakinan mayoritas penduduk negeri ini yang muslim. Bila itu bisa diujudkan, maka gagasan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara juga menjadi bagian dari ibadah setiap muslim akan dapat diujudkan secara nyata.
Pelaksanaan syariah oleh negara sesung-guhnya merupakan perkara yang sudah diketahui kewajibannya dalam Islam (ma’lumun min al-dini bi al-dharurati) sebagaimana telah diketahuinya kewajiban shalat, zakat, haji dan sebagainya. Bah-kan sejatinya, berdirinya negara dengan segenap struktur dan wewenangnya dalam kacamata Islam memang adalah untuk menyukseskan pelaksanaan syariah, sebagai wujud nyata pelaksanaan hidup bermasyarakat dan bernegara dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT. Maka perjuangan bagi penegakan syariat Islam bagi seorang muslim juga merupakan sebuah kemestian. Diyakini bahwa tidak akan pernah ada kemuliaan kecuali dengan Islam, dan tidak ada Islam kecuali dengan syariat, serta tidak ada syariat kecuali dengan adanya daulah.
Diyakini, hanya syariah Islam sajalah yang mampu menjawab berbagai persoalan yang tengah membelit negara ini, baik di lapangan ekonomi, po-litik, sosial, budaya dan pendidikan, setelah ideologi kapitalisme dan sosialisme gagal memenuhi harap-an. Penerapan syariah juga akan membawa masya-rakat Indonesia yang mayoritas muslim itu lebih dekat kepada suasana religiusitas Islam sebagai per-wujudan dari misi hidup beribadah kepada Allah SWT.
Secara ringkas, beberapa program penting penyelamatan Indonesia melalui syariah bisa dijelaskan sebagai berikut:
Bidang Ekonomi, Keuangan dan Moneter
Dalam perspektif ekonomi maupun politik banyak penjelasan yang bisa diberikan mengapa krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi melanda Indonesia sejak 4 tahun lalu. Tapi dalam perspektif filosifis radikal, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga belahan dunia lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama. Pertama, persoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat kepada mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap US dollar), tidak pada dirinya sendiri, sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil, dan bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut. Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik bunga (interest) atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.
Dengan kata lain, yang menjadi pemicu terjadinya krisis adalah sektor non riil, yang memang dikenal sebagai sektor penuh spekulasi. Kekacauan di sektor ini menyebabkan kekacauan di sektor riil (produksi, perdagangan dan jasa). Harga-harga barang dan jasa naik bukan karena hukum permin-taan dan penawaran (supply and demand), tapi karena suku bunga perbankan naik dan terjadinya depresiasi rupiah terhadap dollar AS.
Dari pengalaman krisis, jelas terbukti bahwa bunga bank memang selalu akan memberikan tekanan kepada kegiatan ekonomi. Maka dengan sendirinya jelas pula bahwa sistem perbankan dengan bunga sangat berpengaruh terhadap bergairah tidaknya kegiatan ekonomi masyarakat. Riba memang akan selalu menjadi sumber labilitas ekonomi. Tatanan ekonomi masyarakat yang ditopang dengan sistem ribawi tidak akan pernah betul-betul sehat. Kalaupun suatu ketika tampak sehat, ia sesungguhnya sedang menuju ke satu titik kolaps setelah mencapai puncaknya dari sebuah siklus krisis ekonomi, dimana kemajuan ekonomi yang dialami terus menerus selama beberapa tahun akan berbalik dan terhenti. Maka dengan tegas Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman menyebut bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber labilitas perekonomian dunia. Al Qur’an menyebutnya sebagai orang yang tidak dapat berdiri tegak melainkan secara limbung bagai orang yang kemasukan setan. Ketidakstabilan ini sering disebut dengan random walk, suatu istilah statistik yang menggambarkan langkah-langkah yang tidak berpola persis seperti langkah orang yang sedang mabuk berat (Arifin, 1999). Dan orang-orang yang tetap mengambil riba setelah tiba larangan dari Allah, diancam akan dimasukkan ke neraka.
Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan meng-haramkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah: 275).
Dan yang terpenting dari semua itu, adalah bahwa memperlakukan uang sebagai komoditi dengan cara memungut bunga adalah sebuah dosa besar, yang dosanya menurut hadits lebih besar dari berzina dengan ibunya sendiri. Allah mengutuk orang yang terlibat dalam mekanisme keuangan ribawi. Ketentuan ini secara empiris bisa difahami, karena dijalankannya sistem ribawi akan membawa kehancuran seluruh tatanan ekonomi masyarakat secara luas seperti yang kini tengah terjadi. Nabi saw. Bersabda:
Untuk riba ada 73 pintu dosa, yang paling ren-dah (derajatnya) seperti, seorang yang men-zinahi ibunya. (HR Daruquthni).
Juga bersabda:
Allah melaknat pemakan riba, yang memberi, penulisnya, dan saksi-saksinya. (HR Bukhari dan Muslim)
Allah memerintahkan kita untuk mening-galkan praktek ekonomi ribawi. Bila tidak, ancaman-nya di dunia dan akherat sungguh sangat pedih. Rasulullah saw. Bersabda:
Tidaklah riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, melainkan rakyat di negeri itu telah menghalalkan dirinya untuk mendapat azab Allah. (HR Imam Ahmad)
Mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang paling penting adalah meluruskan pandangan yang keliru tentang uang tadi. Bila uang dikembalikan kepada fungsinya sebagai alat tukar saja, lantas mata uang dibuat dengan basis emas dan perak (dinar dan dirham dimana 1 dinar emas syar’i beratnya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak syar’iy beratnya 2,975 gram perak), maka ekonomi akan betul-betul digerakkan oleh hanya sektor riil saja. Tidak akan ada sektor non riil (dalam arti orang berusaha menarik keuntungan dari mengkomo-ditaskan uang dalam pasar uang, bank, pasar modal dan sebagainya). Kalaupun ada usaha di sektor keuangan, itu tidaklah lebih sekedar katakanlah menyediakan uang untuk modal usaha yang diatur dengan sistem yang benar (misalnya bagi hasil). Dengan cara itu, sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor riil akan berjalan mantap, tidak mudah bergoyang atau digoyang seperti saat ini.
Dengan mata uang dinar dan dirham, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh nilai instrin-siknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terha-dap mata uang lain. Maka, seberapapun misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti sekarang ini Insya Allah tidak akan terjadi.
Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya, sebab penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang disamping memakan investasi besar, juga waktu yang lama. Andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu akan disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasar. Dengan demikian pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai emas di pasar bisa ditekan seminimal mungkin. Di sinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh negara.
Secara syar’iy pemanfaatan sistem mata uang dua logam juga selaras dengan sejumlah perkara dalam Islam yang menyangkut uang. Diantaranya tentang nisab zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham perak, larangan menimbun harta (kanzu al-mal, bukan iddikhar atau saving) dimana harta yang dimaksud disitu adalah emas dan perak, sebagaimanan disebut dalam Surah At Taubah 34. Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya diyat dalam perkara pembunuhan (sebesar 1000 dinar) atau batas minimal pencurian (1/4 dinar) untuk dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Itu semua menunjukkan bahwa standar keuangan (monetary standard) dalam sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak.
Sementara itu, dunia perbankan juga harus segera ditata. Mempertahankan keberadaan bank konvensional yang berbasis riba jelas merupakan kebijakan yang sangat patut dipertanyakan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan perbankan konvensional. Akibat krisis itu, 16 bank dilikuidasi pemerintah, dan 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November 1997. Sementara 13 bank diambil alih (BTO). Langkah ini menciutkan secara drastis jumlah bank dari 237 pada akhir Juni 1997 menjadi 151 bank pada akhir Desember 2000. (Kompas, 29 Juli 2001).
Bila bank diidealkan sebagai lokomotif penarik laju kegiatan usaha masyarakat, kini lokomotif itu justru harus didorong dan ditarik untuk bisa melaju dengan energi yang sangat besar. Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang selama ini menjadi sumber darah bagi perputaran roda perekonomian nasional, hingga Desember 2000 pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659 trilyun (Kompas, 29 Juli 2001). Jumlah itu sudah termasuk dana yang dikeluarkan pemerintah untuk penjaminan (blanket guarantee) atas simpanan pihak ketiga dan kreditor di bank-bank bermasalah. Rinciannya, untuk penjaminan pemerintah Rp 218 trilyun, kredit program Rp 10 trilyun, untuk rekapitalisasi bank-bank pemerintah Rp 283 trilyun, rekapitalisasi tujuh bank swasta Rp. 33 trilyun, rekapitalisasi bank yang diambilalih pemerintah (BTO) Rp 106 trilyun, rekapitalisasi bank-bank pembangunan daerah (BPD) Rp 1 trilyun serta obligasi untuk bank-bank non rekap Rp 9 trilyun.
Dengan obligasi yang dikeluarkan pemerin-tah senilai Rp 659 trilyun guna membiayai semua upaya penyehatan perbankan, membuat utang pemerintah meningkat tajam. Bila sebelum krisis hanya 55 milyar dollar AS, kini membengkak menjadi 77 milyar dollar AS (utang luar negeri) ditambah Rp 695 trilyun (utang dalam negeri terutama dalam bentuk obligasi rekapitalisasi) dalam waktu tidak sampai empat tahun terakhir. Utang sebesar itu membuat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai di atas 100 persen pada akhir 2000, yang akan mengakibatkan perekonomian Indonesia pada 10 - 25 tahun ke depan akan terus mengalami proses destabilisasi. Untuk bunga obligasi rekapitalisasi saja pemerintah harus mengeluarkan sekitar empat persen dari PDB pada tahun 2000 dan 2001 ini. Kewajiban obligasi yang jatuh tempo pada tahun 2001 sekitar Rp 12,9 trilyun. Jumlah ini akan terus meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 73,98 trilyun pada tahun 2007 dan Rp 138 trilyun pada 2018. Biaya ini dibebankan pada APBN, yang berarti rakyat juga yang menanggung. Beban bunga obligasi akan semakin menjadi-jadi dengan terus naiknya suku bunga. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia saat ini sudah mencapai sekitar 17,7 persen, naik dari sekitar 10 persen pada semester I 2000 lalu. Padahal, setiap kenaikan suku bunga sebesar satu persen, akan menyebabkan biaya bunga obligasi yang harus dibayar pemerintah naik Rp 2,2 trilyun.
Sampai kapan pemerintah akan terus menerus mem-back-up bank-bank konvensional yang nyata-nyata memang telah demikian terpuruk, yang ibarat lokomotif tadi, jangankan untuk menghela gerbong panjang perekonomian nasional, untuk menarik tubuhnya sendiri saja rasanya berat sekali? Dan berapa banyak lagi uang yang harus digelontorkan untuk itu semua, sementara untuk sekadar menghemat dana subsidi BBM yang paling banyak berjumlah Rp 25 trilyun, pemerintah tega menaikkan 30% harga BBM beberapa waktu lalu yang dampaknya sangat memukul perekonomian masyarakat secara keseluruhan?
Bahwa dalam perekonomian modern seperti saat ini diperlukan lembaga intermediari yang menghubungkan antara unit ecsess of fund dengan unit lack of fund untuk berbagai kepentingan transaksi ekonomi, sudah sangat jelas. Masalahnya, lembaga intermediari seperti apa? Logikanya, sebagai intermediari, lembaga itu semestinya haruslah cukup kuat, stabil, dan yang paling penting tidak malah menimbulkan atau menambah problema karena ia hadir justru untuk membantu menyelesaikan problem. Apakah harus berupa bank dengan pola konvensional yang berbasis bunga seperti saat ini? Fakta emprik yang dialami oleh dunia perbankan mutakhir menunjukkan bahwa perbankan kon-vensional tidak memiliki karakter-karakter seperti yang disebut. Ia ternyata sangat labil dan mudah sekali terserang problem. Negative-spread yang dialami oleh perbankan nasional hingga membuat sejumlah bank berdarah-darah beberapa waktu lalu, jelas bukan karena faktor kerusakan akhlak (moral hazard) semata, tapi yang utama adalah karena ia bertumpu pada sistem ribawi yang memang bersifat merusak diri sendiri (self-destructive). Tegasnya, sistem ribawi itulah yang membuat dunia perbankan terus terpuruk dan tidak pernah stabil. Dan bagaimana ekonomi akan berjalan baik bila bertumpu pada lembaga intermediari yang tidak stabil?
Oleh karena itu, demi tercapainya kondisi perekonomian pada umumnya dan dunia perbankan pada khususnya secara lebih baik, pengelolaan lembaga keuangan sesuai prinsip-prinsip syariah semestinya bukan merupakan salah satu pilihan, melainkan satu-satunya pilihan untuk menggantikan bank konvensional berbasis riba yang secara normatif jelas terlarang dan secara empirik seperti yang saat ini terjadi telah terbukti mempurukkan kita semua.
Pengelolaan Sumberdaya Alam
Sumberdaya alam Indonesia yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan berkah yang semestinya. Mengapa? Seperti telah banyak diketahui, di Indonesia khususnya sepanjang pemerintahan Orde Baru, individu ataupun swasta bisa mendapatkan hak yang diberikan oleh penguasa pada waktu itu untuk menguasai dan mengeks-ploitasi potensi-potensi sumber daya alam seperti tambang (batubara, emas, tembaga), hutan, minyak dan gas bumi dsb. Untuk sektor kehutanan, sebagai contoh, menurut laporan Warta Ekonomi (Agustus, 1998), sebagian besar hutan di Indonesia sampai sebelum reformasi, sudah dikuasai oleh dua belas grup besar melalui 109 perusahaannya. Dianta-ranya, Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto menguasai 3,5 juta hektar HPH, menduduki tempat teratas. Urutan selanjutnya adalah Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektar, Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektar, Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektar, PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektar, Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektar, PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektar, Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektar dan seterusnya. Dengan pola pengelolaan yang relatif tetap, kepemilikan HPH seperti tersebut di atas diyakini hingga kini belum banyak berubah.
Meski dalam kontrak perjanjiannya tidak sampai menguasai sumber daya alam dalam bentuk hak milik, namun yang berhak untuk memiliki hasil bersih dari sumber daya alam yang telah dieksploita-si tersebut tetaplah para pemegang sahamnya, setelah dikurangi untuk biaya produksi, pajak dan gaji buruh. Sebagai contoh, menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya yang ketika itu adalah 2,5 milyar US Dollar (kini diperkirakan mencapai sekitar 7 - 8 milyar US dollar - Kompas, 10 Februari 2001). Dari hasil sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 %, sedangkan sisanya yaitu sebesar 83 % masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).
Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikem-balikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Para-digma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based mana-gement) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).
Dalam hadits riwayat Imam At-Tirmidzi, Abyadh bin Hamal diceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang shahabat, “Wahai Rasu-lullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”. Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadist tersebut menyeru-pakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Bahwa semula Rasulullah SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Tapi ketika kemudian Rasul mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, maka Rasul mencabut pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Dan semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Andai semua sumberdaya alam yang ada di Indonesia dikelola secara benar (amanah dan efisien) oleh negara niscaya kemakmuran akan melingkupi seluruh rakyat Indonesia. Dana yang didapat bisa digunakan untuk membangun infra-struktur, membiayai kesehatan dan pendidikan secara cuma-cuma serta berbagai keperluan lain. Indonesia tidak perlu berutang ke luar negeri, termasuk kepada IMF yang pada kenyataannya makin mempurukkan ekonomi Indonesia.
Bidang Pendidikan
Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekuleristik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh sesuai visi dan misi penciptaannya, yakni seorang Abidus Shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, paradigma pendidikan yang keliru. Dalam sistem kehidupan sekuleristik asas penyelenggaraan pendidikan adalah juga sekuleristik. Sehingga menjadi suatu hal yang tak dapat dihindari jika tujuan pendi-dikannya pun adalah juga buah dari paham sekuleristik tadi, yakni sekadar mem-bentuk manusia-manusia yang berpaham mate-rialistik dan serba individualistik. Kedua, kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yaitu (1) kelemahan pada lembaga pendidikan yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sesuai dengan kehendak Islam, (2) faktor keluarga yang tidak mendukung, dan (3) faktor masyarakat yang tidak kondusif .
Karena itu, penyelesaian problem pendi-dikan hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh melalui perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma Islam. Sementara pada tataran derivatnya, kele-mahan ketiga faktor di atas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan Islam.
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam. Dalam pendi-dikan Islam, aqidah Islam harus menjadi dasar pe-nentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus yang akan dikembangkan. Sekalipun pengaruhnya tidak sebesar unsur pendidikan yang lain, penye-diaan sarana dan prasarana juga harus mengacu pada asas di atas.
Pendidikan berasas aqidah Islam ini harus berlangsung secara berkesinambungan pada seluruh jenjang pendidikan yang ada, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. Sementara orientasi keluaran (output) dari pendidikan Islamnya tercermin dari keseimbangan pada ketiga unsurnya, yakni: pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), penguasaan tsaqofah Islam dan penguasaan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan). Dalam pendidikan yang sekuleristik ketiga unsur tersebut terpisah satu sama lain dan diposisikan berbeda dimensi (agama-non agama) dengan proporsi sangat tidak seimbang. Semestinya, ketiga unsur tersebut harus merupakan satu kesatuan yang utuh. Berbasis pada kondisi obyektif pendidikan saat ini, maka yang diperlukan adalah langkah optimasi pada muatan pembentukan kepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah) dan penguasaan tsaqofah Islam serta mempertahankan atau meningkatkan muatan ilmu kehidupan dan keterampilan sebagaimana yang sudah ada sekaligus mengintegrasikan ketiganya.
Secara faktual, pendidikan melibatkan tiga unsur pelaksana: yaitu keluarga, sekolah/kampus dan masyarakat. Kondisi faktual obyektif pendidikan saat ini, dimana ketiga unsur pelaksana tersebut belum berjalan secara sinergis disamping masing-masing unsur tersebut belumlah berfungsi secara benar. Karena di tengah masyarakat terjadi interaksi antar ketiganya, maka kenegatifan masing-masing itu juga memberikan pengaruh kepada unsur pelaksana pendidikan yang lain. Maksudnya, buruknya pendidikan anak di rumah memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas, narkoba dan sebagainya. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Kelemahan strategi fungsional terjadi pada tiga unsur pendidikan, yaitu (1) faktor kelemahan lembaga pendidikan yang tercermin dari kacaunya kurikulum, tidak berfungsinya guru/dosen dan tidak berjalannya proses belajar mengajar serta tumbuh-nya budaya lingkungan sekolah/kampus sesuai dengan kehendak Islam, (2) faktor keluarga yang tidak mendukung, dan (3) faktor masyarakat yang tidak kondusif .
Kacaunya kurikulum berawal dari asasnya yang sekuler, kemudian mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya kepada proses penguasaan tsaqofah Islam dan pembentukan kepribadian Islam. Tidak berfungsinya guru/dosen dan rusaknya proses belajar mengajar tampak dari peran guru yang sekadar berfungsi sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak lagi sebagai pendidik yang berfungsi mentransferkan ilmu pengetahuan berikut kepribadiannya (transfer of personality), karena memang kepribadian guru/dosen tidak lagi pantas diteladani. Lingkungan fisik sekolah/kampus yang tidak tertata dan terkondisi secara Islami (ditambah dengan minimnya sarana pendukung, seperti masjid/mushola) telah menumbuhkan budaya yang tidak memacu pada proses pembentukan kepri-badian siswa/mahasiswa. Akumulasi kelemahan pada unsur sekolah/kampus itu menyebabkan tidak optimalnya pencapaian tujuan pendidikan yang diidealkan.
Begitu pula halnya dengan kelemahan pada unsur keluarga. Hal ini tampak dari lalainya para orang tua untuk secara sungguh-sungguh menanam-kan dasar-dasar keislaman yang memadai kepada anaknya. Lemahnya pengawasan terhadap per-gaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya, makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan.
Kelemahan yang terjadi pada unsur masya-rakat tampak dari berkembangnya sistem nilai sekuler yang tampak dari tata pergaulan sehari-hari yang bebas dan tak acuh pada norma agama; berita-berita pada media masa yang cenderung mempropa-gandakan hal-hal negatif seperti pornografi dan kekerasan, serta langkanya keteladanan pada masyarakat.
Kelemahan pada unsur keluarga dan masya-rakat ini pada akhirnya lebih banyak menginjeksikan beragam pengaruh negatif pada anak didik. Maka yang terjadi kemudian adalah sinergi pengaruh negatif kepada pribadi anak didik. Padahal - sesuai dengan arahan Islam - pendidikan seharusnya dapat mengkondisikan anak didik dalam pengaruh yang positif dari semua unsur pelaksana pendidikan.
Solusi strategi fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu pola pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis, yakni: Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dengan semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: (1) kurikulum yang paradigmatik, (2) guru/dosen yang amanah dan kafaah, (3) proses belajar mengajar secara Islami, dan (4) lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.
Kedua, membuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah/kampus - keluarga - masyarakat inilah yang akan menjadikan pribadi anak didik yang utuh sesuai dengan kehendak Islam.
Syariah Memberi Rahmah Bagi Semua
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muham-mad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 107)
Dalam surah al-Anbiya ayat 107 di atas ditegaskan bahwa Allah SWT mengutus Muhammad tidak lain kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta. Artinya, syariat Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW bila diterapkan secara pasti akan memberikan kebaikan (rahmah) bagi semua.
1. Syariat Islam mengatur semua warga
Syariat Islam ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia sehingga memberikan kerahmatan bagi semua elemen masyarakat karena Islam adalah risalah yang diturunkan Allah SWT untuk seluruh umat manusia, tidak hanya untuk umat Islam saja. Nabi Muhammad SAW pun diutus Allah bukan hanya kepada umat Islam, melainkan kepada dan untuk seluruh manusia. Dengan demikian, anggapan bahwa penerapan syariat Islam hanya dapat dilakukan pada masyarakat yang seluruhnya muslim adalah tidak tepat. Syariat Islam jelas bisa dan pasti bisa diterapkan sekalipun dalam masyarakat heterogen, karena syariat Islam memang diturunkan untuk mengatur seluruh umat manusia.
Dalam masyarakat Islam, yakni masyarakat yang di dalamnya diterapkan syariat Islam, warga non-muslim tetap mendapatkan kebebasan dalam memilih agama yang akan dipeluknya karena memang Allah SWT tidak memaksa setiap orang untuk masuk Islam, sekaligus kebebasan untuk mengikuti ketentuan agama masing-masing sepan-jang menyangkut masalah-masalah aqidah dan ibadah. Sementara menyangkut muamalah, baik masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendi-dikan, tanpa kecuali, seluruh anggota masyarakat, baik muslim maupun non muslim, semuanya harus tunduk pada syariat Islam. Syariah ditetapkan sebagai hukum yang mengatur interaksi antar seluruh komponen anggota masyarakat. Dengan cara itu, kebaikan syariat Islam akan dirasakan oleh semua anggota masyarakat.
Ketika Islam menetapkan sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip syariah, maka sistem itu adalah untuk seluruh masyarakat tanpa memandang muslim ataupun non muslim. Ketentuan larangan riba dan judi serta penggunaan mata uang dinar dan dirham misalnya, akan membuat ekonomi masyarakat tumbuh secara nyata (bukan semu seperti dalam sistem ekonomi kapitalis yang ditopang oleh kegiatan ekonomi ribawi dan perjudian sebagaimana tampak dalam perdagangan saham dimana keduanya menghasilkan buble economy yang sangat rentan terhadap gejolak) dan stabil karena bertumpu pada kegiatan ekonomi riil serta ditopang oleh mata uang yang juga benar-benar kuat dan tidak mudah mendapat tekanan inflasi serta depresiasi. Atau ketentuan Islam bahwa komoditas milik umum seperti minyak, hutan, gas alam, emas dan barang mineral lain adalah milik umum dan karenanya harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya diberikan kepada seluruh rakyat, baik secara langsung dalam bentuk barang yang murah atau tidak langsung melalui berbagi pelayanan yang diperlukan oleh rakyat seperti pendidikan dan kesehatan, akan membuat rakyat merasakan manfaat dari kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Pertumbuhan ekonomi yang nyata dan stabil akan menghasilkan kesejahteraan bagi semua dan memupus jurang atau ketimpangan sosial-ekonomi diantara anggota masyarakat seperti yang biasa terjadi dalam sistem kapitalis. Kebaikan dari sistem ekonomi seperti ini akan dirasakan oleh semua anggota masyarakat baik muslim maupun non muslim.
Sistem ekonomi yang ada sekarang ini, bukan saja tidak mampu menyelesaikan masalah tapi malah dari waktu ke waktu justru menciptakan masalah. Lebih dari tiga puluh tahun memimpin Indonesia, kapitalisme - terlepas dari para birokrat negeri ini yang juga bermental korup - membuat lebih dari 100 juta orang jatuh ke jurang kemis-kinan, lebih dari 40 juta pengangguran, jutaan anak-anak terpaksa putus sekolah, sementara utang negara makin menumpuk, pajak kian mencekik leher, beban hidup makin berat karena harga barang-barang terus merangkak naik, sementara subsidi untuk BBM dan listrik akan terus dikurangi. Semua akibat buruk tersebut menimpa seluruh rakyat baik muslim maupun non muslim. Pertanya-annya, siapa yang merasa suka dengan sistem yang menghasilkan keburukan-keburukan seperti itu?
Begitu juga ketika Islam menetapkan sebuah sistem pendidikan bermutu yang tegak berlandaskan pada paradigma Islam dimana pendidikan diorienta-sikan pada pembentukan kepribadian, penguasaan tsaqofah dan penguasaan sains teknologi, yang diselenggarakan tanpa biaya atau berbiaya murah, semua itu dapat dinikmati baik oleh warga muslim maupun non-muslim. Sistem pendidikan sekuler yang amburadul, mahal dan tak jelas arahnya seka-rang ini menghasilkan sosok manusia yang diragukan kualitasnya terlihat dari maraknya perkelahian pelajar, seks bebas dan penyalahgunaan narkoba. Siapa pun, muslim maupun non muslim, pasti tidak merasa nyaman dengan kondisi sistem pendidikan seperti ini.
Sementara, kemampuan sistem Islam men-jaga keamanan, jiwa, harta dan kehormatan melalui penerapan sanksi hukuman Islam dimana para pelaku pencurian, perampokan termasuk koruptor, pezina, peminum minuman keras, pembunuh dan pelaku tindak asusila akan dihukum secara setimpal, akan membuat kriminalitas dan segala penyakit sosial akan turun drastis atau dapat ditekan seminimal mungkin. Semua kebaikan ini tentu akan dapat dinikmati baik oleh muslim maupun non muslim, termasuk para pelaku tindak kejahatan itu sendiri karena hukuman (uqubat) di dunia akan menjadi tebusan (kafarat) bagi hukuman di akhirat yang jauh lebih berat. Kebaikan seperti itu tidak mungkin dimiliki oleh sistem hukum sekuler. Hukuman yang ada bahkan terbukti telah gagal melindungi warga masyarakat. Akibatnya, nyawa mudah sekali melayang, harta dan kehormatan dapat sewaktu-waktu terancam, kriminalitas meningkat dimana-mana, pornografi, pelacuran dan penyalahgunaan narkoba menjadi menu sehari-hari. Siapa yang merasa nyaman hidup dalam suasana seperti itu?
Kapitalisme, di satu sisi memang menghasil-kan kemajuan material lebih dari yang bisa diberi-kan oleh sosialisme, tapi di sisi lain sistem ini telah menciptakan kondisi yang dalam banyak hal justru bertentangan dengan hakikat eksistensi hidup manusia di dunia, yakni kesenjangan ekonomi, kehidupan materialistik dan proses dehumanisasi. Kehidupan materialistik adalah kehidupan yang hanya diorientasikan kepada pencapaian materi belaka. Ketika untuk mencapai perolehan materi manusia tidak lagi mengindahkan ketentuan halal dan haram, bahkan rela menempuh segala cara meski itu merendahkan harkat dan martabat dirinya sebagai manusia, terjadilah proses dehumanisasi atau proses penidakmanusiaan manusia. Manusia telah menjadi penghamba uang. Uang telah menjadi tuhan baru menggantikan Rabb yang semestinya disembah. Dengan prinsip survival of the fittest dimana the might is right membuat yang kaya makin kaya dan yang miskin makin tersingkir. Maka, kesenjangan ekonomi yang demikian lebar di tengah masyarakat adalah akibat logis belaka dari sistem kapitalisme.
Syariah Islam akan menghentikan itu semua. Kemajuan material tidak dihalangi sepanjang didapat melalui jalan yang benar dan dikembangkan dalam sistem yang sesuai dengan syariah. Hasilnya, kemajuan material bisa dicapai, kepuasan spiritual tak terabaikan dan keadilan sosial bisa diujudkan. Manusia akan tumbuh menjadi makhluk yang meng-abdi kepada Sang Khaliq semata, hidup sejahtera, bahagia lahir dan batin, baik secara individual maupun komunal. Pengabdian kepada Allah tetap bisa diujudkan di tengah gemerlap kemajuan material, karena semua tatanan berjalan sesuai dengan syariah.
2. Syariah Melindungi Warga Non-Muslim
Dalam sejarah peradaban Islam, bisa di-katakan tidak pernah penerapan syariah dilakukan hanya dalam masyarakat homogen atau yang seluruh warganya muslim. Masyarakat yang berhasil dibentuk di Madinah di awal perkembangan Islam misalnya, atau di Irak dan Mesir pada perkembangan selanjutnya, selalu ada di dalamnya warga non-muslim. Islam memang tidak memaksa orang untuk memeluk aqidah Islam. Maka, sekalipun dalam masyarakat Islam seperti saat Rasulullah memimpin di Madinah atau ketika Islam telah berkembang sampai ke Irak atau Mesir, hidup dengan damai di tengah-tengah masyarakat Islam, warga non-muslim sebagai ahl-dzimmah dimana harta, jiwa dan kehormatan mereka dilindungi. Siapa saja yang mencederai mereka, mengambil hartanya atau menodai kehormatannya akan dihukum setimpal kendati pelakunya beragama Islam. Dalam hal ini, ahl-dzimmah diperlakukan sama dengan warga muslim. Andai Islam tidak memiliki ketentuan yang gamblang tentang bagaimana memperlakukan warga non-muslim dan perilaku orang-orang Islam katakanlah seperti serdadu Serbia yang membantai secara sadis warga Bosnia, niscaya tidak akan terlahir mantan Sekjen PBB, Boutros Boutros Ghali, anak keturunan suku Koptik di Mesir yang beragama Kristen dan Deputi PM Irak, Thariq Azis, yang juga beragama Kristen, karena nenek moyangnya keburu habis dibantai. Spanyol yang selama sekitar 800 tahun dikuasai oleh Islam disebut Spanyol in three religion, karena disamping Islam yang berkuasa, hidup damai dan sentausa warga beragama Yahudi dan Nashrani. Sepanjang sejarah kehidupan Islam, tidak tercatat pengusiran apalagi pembantaian warga minoritas non muslim oleh mayoritas muslim. Yang ada adalah justru sebaliknya, pengusiran warga muslim oleh mayoritas non-muslim dimana-mana, seperti yang terjadi di Bosnia, Kosovo, Timor Timur dan sebagainya.
Masyhur akan keelokan budi orang-orang Islam dan ketangguhan sistem Islam dalam melindungi warga non-muslim, membuat Islam dengan mudah masuk ke berbagai wilayah yang semula penduduknya non-muslim. Amr bin Ash ketika menaklukkan Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Romawi Kristen, dibantu oleh penduduk suku Koptik yang juga beragama Kristen. Pasukan Islam bahkan dielu-elukan di kanan kiri jalan oleh penduduk ketika masuk Polandia. Mengapa penduduk suku Koptik yang beragama Kristen justru membantu Amr bin Ash, panglima pasukan Islam, melawan penguasa Romawi yang juga beragama Kristen, dan mengapa pula penduduk Polandia yang non-muslim justru menyambut hangat kedatangan pasukan Islam? Jadi, bagaimana mungkin kini berkembang kekhawatiran bahwa bila syariah Islam diterapkan warga non-muslim akan hidup tertindas? Tuduhan ini jelas bertentangan dengan realitas ajaran Islam itu sendiri dan fakta sejarah di masa lampau.
3. Syariah Membentuk Masyarakat Modern yang Beradab
Tuduhan bahwa penerapan syariah Islam akan membawa masyarakat kepada kehidupan masa lampau yang terbelakang, juga sepenuhnya salah. Islam tidak menolak modernisasi, bahkan bila dirunut dalam sejarah, justru Islamlah yang meng-ajari Barat yang sekarang dianggap sebagai kiblat modernisasi, ketika mereka tengah hidup di abad kegelapan, menemukan dasar-dasar kehidupan modern. Melalui pengembangan sains dan teknologi yang berkembang pesat di masa kejayaan Islam, peradaban Islam telah memberikan kontribusi luarbiasa bagi kemajuan Barat.
Islam melalui syariahnya bukan akan menghentikan modernisasi, melainkan meletakkan modernisasi agar tetap dalam kerangka pengabdian kepada Allah. Bila modernisasi diartikan sebagai pengembangan madaniah, yakni produk-produk teknologi yang bersifat material guna peningkatan mutu, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam kehidupan manusia baik dalam bidang komunikasi, transportasi, produksi, kesehatan, pendidikan, perumahan, makanan, pakaian dan sebagainya, Islam sama sekali tidak keberatan. Dan itu akan diteruskan, bahkan akan ditingkatkan oleh Islam. Artinya, manusia boleh saja menggunakan semua perangkat hasil pengembangan sains dan teknologi. Hanya saja, pola kehidupannya baik dalam konteks kehidupan pribadi, keluarga maupun masyarakat haruslah tetap dalam koridor syariah. Bukan modernisasi yang justru mempurukkan derajat manusia sebagaimana kini terlihat dalam kehidupan Barat, yang telah menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkan-Nya. Barat telah salah mengartikan modernisasi. Apakah sebuah kemodernan bila wanita yang seharusnya dimuliakan justru dijadikan sebagai obyek seksual, berjalan melenggak lenggok memperagakan model rancangan baju yang nyaris telanjang di bawah tatapan ratusan pasang mata dan sorotan kamera atau dipajang dalam ruang kaca untuk kemudian dinikmati kemolekan tubuhnya dengan imbalan sekian lembar uang? Apakah juga sebuah kemodernan bila laki-laki dan perempuan berhubungan seksual tanpa ikatan pernikahan atau “pernikahan” tapi antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan? Lalu apa bedanya dengan hewan? Bahkan hewan masih lebih baik, karena sejauh ini tidak ditemukan adanya gejala lesbianisme atau homoseksualisme di kalangan binatang yang paling jorok sekalipun. Apakah sebuah kemodernan, membiarkan sistem ekonomi berkembang liar dimana pemilik modal tak ubahnya seperti lintah yang menghisap darah manusia lain, atau orang mendapatkan keuntungan tanpa kerja sama sekali sebagaimana tampak dalam pembungaan uang? Ini adalah sebagian contoh yang akan diluruskan oleh syariah dalam proses modern-isasi masyarakat.
Syariah akan menata kehidupan manusia dalam pemenuhan gharizah dan kebutuhan jas-maninya secara tepat. Dengan syariah, manusia dituntun untuk menjadikan halal dan haram sebagai tolok ukur perbuatan. Mengenal yang baik dan yang buruk, bahwa yang baik adalah yang dinyatakan baik oleh syariah dan yang buruk adalah yang dinyatakan buruk oleh syariah. Sehingga, di tengah-tengah kemodernan berkat kemajuan teknologi, manusia dapat hidup dengan penuh ketertiban, penghor-matan terhadap nilai-nilai kesucian, penjagaan terhadap martabat tinggi yang telah ditetapkan Allah SWT untuk manusia, yang diletakkan dalam misi pengabdian sepenuhnya kepada-Nya.
Sikap Terhadap Syariah
Menghadapi seruan penerapan syariat Islam, diakui tidak semua umat Islam di Indonesia mendukung. Ada yang tak acuh, ada pula yang bahkan menentang. Dengan berbagai alasan, kelompok yang menentang ini pada intinya tidak setuju syariat Islam diterapkan di Indonesia. Menurut mereka, syariat Islam hanyalah untuk umat Islam dan itupun hanya bisa diterapkan dalam masyarakat yang homogen dimana semua rakyatnya beragama Islam. Mereka juga beralasan, bila syariat Islam diterapkan, warga non-muslim akan hidup tertindas. Dan lagi, menurut mereka penerapan syariat Islam akan membawa kemunduran masyarakat. Modernisasi akan terhenti, dan masyarakat akan kembali hidup seperti layaknya masyarakat terbelakang.
Sikap tak acuh apalagi menentang seruan penerapan syariah tentu sangat tidak layak ditunjukkan oleh seorang muslim. Semua argumen yang dikemukakan oleh orang-orang yang menen-tang sangatlah tidak tepat. Syariat Islam diturunkan bukan hanya untuk umat Islam saja, melainkan untuk seluruh umat manusia. Justru dengan syariah, kebebasan beragama dan beribadah bagi warga non-muslim akan lebih terjamin. Bukan hanya itu, jiwa, harta dan kehormatan mereka juga akan terlin-dungi. Pendek kata, syariat Islam akan memberikan kebaikan bagi semua manusia yang hidup di bawah naungannya. Syariah juga sama sekali tidak akan menghalangi modernisasi. Justru dengan syariah, modernisasi akan berkembang lebih terarah. Dengan syariah akan tercipta masyarakat modern yang beradab sebagaimana telah dijelaskan di muka.
Jadi, tidak ada alasan sedikitpun untuk menentang syariah. Apalagi bila itu dilakukan oleh seorang muslim. Seseorang yang mengaku dirinya muslim harus menjadi muslim secara keseluruhan-nya (kaaffah), sebagaimana firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah dan jangan-lah kalian ikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu (al-Baqarah 208)
Ia juga harus menyadari bahwa keimanannya kepada Allah SWT bukan sekadar bermakna percaya akan adanya Allah tapi harus disertai ketundukan pada segenap aturan-aturan-Nya. Allah SWT ber-firman:
Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim dalam perkara yang mereka perselisih-kan, kemudian mereka tidak merasa keberatan atas putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (An-Nisa’ [4]: 65).
Imanlah yang akan membuat orang-orang mukmin senantiasa siap melaksanakan syariah, sebagaimana petunjuk Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.(al-Anfal: 24)
Maka sesungguhnya tidak pantas bagi muk-min laki-laki dan perempuan, ketika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan syariah sebagai atur-an, mereka mencampakkan syariah dan mencari aturan lain. Allah menegaskan hal itu dalam firman-Nya:
Dan tidak pantas bagi mukmin laki-laki dan perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (al-Ahzab 36)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar