Dari beberapa fakta dan kasus yang terjadi diatas menunjukkan adanya usaha untuk memperjuangkan kaum perempuan untuk dapat beraktivitas dalam sektor publik. Ini tidak terlepas dari misi kaum feminis yang menuntut adanya kesetaraan jender, salah satunya mereka memperjuangkan pemberdayaan perempuan bidang ekonomi sampai pada tataran menjadikannya ke dalam sebuah kebijakan.
Kegigihan kaum feminis untuk memperjuangkan adanya kesetaraan jender dilatarbelakangi oleh adanya berbagai fakta di lapangan yang menurut mereka, menunjukkan adanya ketidakadilan, kekerasan atau penindasan yang dialami perempuan. Misalnya kaum feminis menolak peran domestik wanita karena dianggap sebagai bentuk penindasan. Mereka menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang tidak produktif, sehingga mereka akan tergantung secara ekonomi kepada kaum pria akibatnya wanita tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat, sehingga wanita bisa diperlakukan seenaknya oleh kaum pria. Hal inilah yang biasanya mereka sebut sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Karena itulah kaum feminis menganjurkan para wanita untuk terjun ke sektor publik untuk membuktikan bahwa wanita memang setara dengan kaum pria.
Pola piker feminis lahir dari sekulerisasi dan kapitalisme yang melahirkan cara berfikir demokrasi.
Pada kenyataannya ketika para wanita terjun ke sektor publik, banyak persolaan yang muncul menghadang mereka. Ini kemudian memaksa kaum feminis untuk mencari solusi dari permasalahan yang sesungguhnya mereka buat sendiri. Mereka menuntut ada perwakilan wanita di parlemen agar dapat menyuarakan aspirasi wanita. Semakin banyak jumlah wanita yang menjadi anggota parlemen, menurut mereka, maka semakin banyak hal-hal yang bisa mereka perjuangkan.Yang pada akhirnya mereka menelorkan/menetapkan beberapa kebijakan atau konsep sebagaimana halnya diatas.
Salah satunya adalah Tap MPR No. VI tahun 2002 yang menyatakan “gender” sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi. Oleh karena itu ada beberapa kelompok yang menuntut kapada kaum wanita untuk bekerja dan berusaha bagaimana memulihkan kondisi perekonomian saat ini sekaligus dengan dalih untuk mengangkat derajat kaum wanita serta untuk menyelesaikan persoalan wanita. Begitu juga kebijakan-kebijakan yang lain dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang notabene pemekiran mereka dipengaruhi oleh prinsip individualisme (buah dari demokrasi), yang menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu, pria di satu sisi dan perempuan di sisi lain. Salah satu contohnya, ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, mereka lantas memandang persoalan tersebut secara parsial, yakni sebagai persoalan internal kaum petrempuan yang harus diselesaikan oleh permpuan. Akhibatnya, pecahan yang dimunculkan pun menjadi parsial dan tidak memberikan penyelesaian tuntas, karena hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni perspektif perempuan.
Pada faktanya kebijakan yang ditetapkan oleh menteri pemberdayaan sebagaimana hal diatas yang berupaya untuk meningkatkan produktifitas ekonomi perempuan ternyata justru semakin meningkatkan eksploitasi terhadap perempuan. Apabila penempatan makna produktivitas ekonomi perempuan hanya diartika sebagai peran perempuan ke segala bidang dengan terjun langsung secara maximal disana dan standar keberhasilannya hanya berupa materi yaitu terpenuhi kebutuhan keluarga (skala kecil) dan pertumbuhan ekonomi nasional baik (skala nasional), maka ini bisa dikategorikan pengeksploitasian perempuan karena menyebabkan pennyimpangn/pengalihan terhadap potensi perempuan yang sebenarnya lebih-lebih jika meninggalkannya. Beda bila makna produktifitas wanita dinilai dengan keberhasilan dia mencetak generasi yang berkepribadian luhur sebagai penerus bangsa dan negara. Maka perempuan dikatakan produktif bila dia mampu melahirkan sosok-sosok penerus bangsa yang unggul.
Adanya konsep pemberdayaan ekonomi perempuan yang salah akan memberikan dampak negatif yaitu sebagai berikut:
Dampak terhadap keluarga
Bila kita lihat dari satu sisi, mungkin dalam hal materi fisik kesejahteraan keluarga dan anak-anak mereka terselesaikan, tetapi mereka lupa bahwa keluarga terutama anak-anak mereka tidak hanya membutuhkan materi saja. Fakta berbicara ketika suami danistri sibuk diluar terus, perhatian terhadap keluarga berkurang, ini awal dari keretakan keluarga. Anak-anak kurang diperhatikan, kurang kasih sayang sehingga menjadikan frustasi walhasil mereka melampiaskan ke narkoba, dugem, obat-obat terlarang dll, belum lagi hubungan dengan suami tidak harmonis, kesibukan ini menjadiakn perempuan lupa/ mengabaikan tugas utamanya sebagai ummu warabatul baitu bahkan menjadikan dia enggan melahirkan dan menyusui.Yang terpatri dalam pemahamam dia, perempuan tidak harus disitu tugasnya. Kondisi seperi ini yang berbicara adalah ego masing-masing, merasa dapat menghidupi keluarga sehingga tak ada yang mau mengalah, lagi-lagi anak yang menjadi korban, baiti jannati menjadi baiti nari. Ini adalah krisis yng banyak kita kita temui, ank-nak yng menjadi gererasi penerus bangsa, benih yang dicetak sejak dini yng harapannya menjadi benih unggulan teryata kandas karen terlahir dan terdidik dikeluarga seperti itu.
2. Dampak terhadap masyarakat dan negara
Tidak sampai di situ saja, lebih jauh lagi ternyata konsep pemberdayaan ekonomi perempuan berdampak terhadap kehidupan di masyarakat dan negara. Seperti yang kita lihat adanya berbagai acara/kegiatan yang sangat gencar saat ini, misalnya Kontes Kecantikan (Miss Universe,Ind. Model),Kontes Akademia (AFI, Ind. Idol, dll) yang sebagian besar diikuti oleh kaum hawa yang secara tidak langsung membawa/ mengusung gaya hidup tertentu yang akan mempengaruhi masyarakat. Mulai dari cara berpakaian mereka, atau dari hadiah-hadiah yang mereka tunjukkan sehangga menarik masyarakat untuk mengikuti acara tersebut. Semua ini jelas akan mempengaruhi dan mengubah cara berpikir masyarakat menjadi masyarakat yang materialistis dan hedonis.
Begitu juga dengan banyaknya wanita yang disibukkan bekerja (“fakta berbicara”) seperti para pekerja pabrik/industri, tenaga kerja wanita (TKW) yang mayoritas kaum hawa, sehingga mereka melupakan peran sebenarnya di tengah-tengah masyarakat sebagai seorang wanita. Bahkan mereka tidak sadar, karena kesibukannya bekerja mereka melupakan tugas sebenarnya sebagai seorang ibu hingga tidak ada waktu untuk mendidik anak-anaknya. Anak-anak yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa, yang akan mengubah kondisi bangsa ini menjadi lebih baik dan benar, justru menjadi generasi “tempe”, generasi “bebek”. Inilah buah nyata dari Kapitalis yang selama ini melekat dan mengelilingi negeri ini. Na’udzubillah !!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar