Jumat, 01 Agustus 2008

Bagaimana Membangkitkan Umat hari ini ?

Kondisi umat Islam di seluruh dunia hari ini sangat memprihatinkan. Belum kering darah dan airmata kaum muslimin Irak yang dibombardir dan diduduki negerinya oleh ratusan ribu pasukan Rambo AS dkk. yang dikerahkan untuk menguasai ladang-ladang minyak di sana (dengan cadangan sekitar 8 triliun dolar AS), dan masih terngiang di tekinga kita ancaman AS kepada kaum muslimin Suriah, kini AS pun mengarahkan ancamannya ke Iran. Sementara kebrutalan penjajah Israel di Palestina semakin meningkat. Negeri-negeri muslim lain yang telah lama tunduk menjadi sapi perahan AS dan kawan-kawannya yang menjajah di dunia Islam melalui utang-utang luar negeri yang mereka kucurkan, pendiktean kebijakan ekonomi yang mereka paksakan, maupun operasi agen-agen mereka dalam berbagai bidang kehidupan dan pos-pos strategis.
Walhasil, boleh dikatakan seluruh negeri Islam Islam kini dalam keadaan terjajah, dimiskinkan, dieksploitasi dan ditindas kehidupannya. Di negeri jajahan langsung seperti Irak, Chechnya, dan Palestina, kaum muslimin dalam ketakutan. Di negeri “merdeka dan berdaulat”, kaum muslimin diberi sedikit ruang untuk mengekspresikan diri dalam koridor penjajahan itu. Dalam bidang ekonomi, kaum muslimin dililit utang yang bunganya saja, satu negeri Islam seperti Indonesia, harus membayar puluhan triliun tiap tahun ke negara-negara penjajah. Kekayaan mereka yang melimpah di berbagai negeri Islam menjadi “bancakan” negara-negara penjajah dan segelintir orang kepercayaan mereka di negeri-negeri Islam. Sementara mayoritas umat yang pemilik sebenarnya kekayaan itu, hidup susah sebagai buruh dan pengangguran, dengan beban ekonomi yang berat. Harga dan sewa barang, pendidikan, pekesehatan, dan lain-lain keperluan hidup serba mahal. Uang susah dicari, tapi rendah nilai daya belinya. Dalam bidang politik, mereka dipaksa minum obat tidur yang namanya demokrasi dan kebebasan dengan batas koridor: jika dan hanya jika menguntungkan para penjajah Barat. Dalam demokrasi, semuanya boleh kecuali Islam. Sehingga berbagai manipulasi politik yang hakikatnya “pemerkosaan suara rakyat” dari rejim ke rejim hanya untuk kepentingan penjajahan. Kaum muslimin dengan identitas Islam yang samar-samar boleh berada dipinggiran tanpa mengambil peran berarti. Dalam bidang pemikiran dan budaya, pemerkosaan Islam dan labelisasi sebagai agama yang terbelakang dan faktor pemecah belah yang harus ditinggalkan dipropagandakan sedemikian rupa untuk memisahkan Islam dari para pemeluknya sendiri. Agama Islam yang memenuhi ruang privat maupun publik, kini disembelih, hanya disisakan ke ruang privat. Reduksi aqidah Islam dilakukan dengan berbagai sarana, baik melalui “topeng pertolongan ekonomi dan sosial”, pendidikan, budaya, maupun hiburan dan pemberitaan media massa.
Sampai kapankah umat ini terus terjajah? Kapankah umat ini bangkit membebaskan diri dari seluruh belenggu penjajahan ekonomi, politik, pemikiran, budaya, bahkan --di beberapa negeri—militer? Kapankah umat ini tampil dalam format umat Islam di seluruh dunia yang terhormat?
Perubahan dari dalam diri kita
Jika kita mengamati perkembangan sejarah dari masa-kemasa, jatuh bangunnya suatu bangsa, maka kita akan dapat melihat bahwa itu semua disebabkan adanya perubahan dalam diri bangsa itu. Bahkan kenyataan ini ditunjuk dengan jelas oleh Al Quran. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar Ra’d 11).
Para mufassir memberikan penjelasan tentang ayat ini berkaitan dengan keadaan umat Islam pada masa lalu yang bagus, penuh dengan keberkahan dan kesejahteraan, serta kekuatan dan ketahanan di bawah naungan bendera Lailahaillallah Muhammadur Rasulullah. Para khalifah sebagai pengayom agama dan keduniaan kaum muslimin melaksanakan kewajiban agama ini dengan sebaik-baiknya. Umat Islam sebagai warga negara melaksanakan tugas-tugas agamanya yang meliputi seluruh aspek kehidupan itu, baik dalam kewajiban personalnya maupun kewajiban sosial atau komunalnya menurut syariah Islamiyah. Namun, keadaan itu bisa berubah 180 derajat manakala umat melakukan kemaksiatan dan melalaikan kewajiban dan ketaatan kepada agamanya.
Pada tahun 1924, institusi penjaga umat itu runtuh dan umat Islam bagaikan ayam kehilangan induknya. Kehidupan sekular yang dipaksakan para penjajah dan kader-kader penerusnya pasca kemerdekaan melahirkan situasi dan kondisi masyarakat yang tidak Islami. Jauh dari ketaatan dan justru semakin ramai dengan kemaksiatan. Bahkan dalam iklim reformasi yang mestinya umat bisa menentukan bentuk negara dan pengelolaannya sendiri, ternyata umat ini tidak mengindahkan Islam, kecuali sebatas ibadah ritual dan sedikit moral. Bahkan dengan menguatnya sistem demokrasi dan liberalisasi dalam bisnis hiburan dan informasi, serta propaganda HAM, umat Islam kini cenderung semakin diarahkan kepada bentuk kehidupan yang jauh dari bingkai syariah Islam. Celakanya, tidak sedikit umat Islam ternyata “mau” atau merasa “tidak ada masalah” dengan arus yang mengarah kepada kebobrokan moral, kebobrokan ekonomi, kebobrokan politik, kebobrokan pendidikan, bahkan kebobrokan aqidah. Maka wajarlah, kalau krisis ini menjadi-jadi dan kondisi umat Islam tetap buruk, bahkan cenderung semakin terpuruk!
Bagaimana umat bisa bangun dan membebaskan diri dari kondisi yang memprihatinkan ini? Tentu harus ada reformasi dalam diri umat, bahkan harus ada revolusi, satu perubahan total dalam diri umat ini. Sebagaimana pesan Allah SWT dalam ayat di atas. Apanya yang harus diubah secara mendasar dalam diri umat ini? Tidak lain adalah pikiran mereka. Kenapa?
Sebab, selama ide-ide yang menyebabkan krisis dan keterpurukan umat ini masih bercokol dalam diri umat, mereka tidak akan pernah bangkit membebaskan diri dari belenggu realitas yang ada. Sekalipun mereka telah merasakan derita dengan cara hidup yang ada hari ini, tapi kesadaran mereka tidak pernah sampai ketemu jalan keluar yang benar. Sebab, dengan pola fikir yang ada, terhadap setiap kejadian mereka akan berkesimpulan: wajar! Sebagai contoh: Ketika umat diperas oleh oknum petugas dalam pengurusan kepentingan rakyat di berbagai meja birokrasi, mereka akan mengatakan wajar, soalnya para petugas itu gajinya kecil, sedangkan harga-harga sudah semakin meroket. Lebih-lebih para petugas itu mendapatkan jabatan itu dengan membayar mahal, maka wajarlah dia berusaha mengembalikan investasi alias pengin balik modal! Bila cara berfikirnya seperti itu, maka seluruh masalah tidak akan pernah bisa diuraikan dan diselesaikan, akan menjadi lingkaran setan. Sungguh malang bangsa dan umat yang ridlo dengan keadaan seperti itu!
Oleh karena itu, harus ada perubahan dalam benak pikiran anak umat ini. Pikiran yang menganggap wajar sebuah penyimpangan (corruption) harus diganti dengan pikiran bahwa setiap penyimpangan harus dicegah dan diatasi. Tentu ini membutuhkan perubahan pemikiran dasar. Umat ini harus diformat ulang cara berfikir mereka, mereka harus bertanya kembali: darimana hidup mereka? Untuk apa mereka hidup? Bagaimana kesudahannya setelah mereka mati? Tentu umat muslim akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar itu dengan jawaban yang standar syariah. Jawaban standar syariah pada pikiran-pikiran dasar itu, akan menjadi pandangan dan pemahaman hidup (mafaahim anil hayah) yang akan menentukan tingkah laku mereka.
Jika pemahaman mesti kembali kepada syariah sebagai metode memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat sudah tertanam dalam diri umat, maka bangkitnya umat ini dari kondisi berbagai keterpurukan tinggal tunggu waktu. Persoalannya adalah bagaimana menanamkan pemahaman itu dan siapa yang menanamkannya?
Bangkitnya para penegak agama Allah
Pemahaman yang jernih tentang syariah sebagai solusi atas seluruh problematika kehidupan adalah modal utama untuk bangkit dan tampil menjadi umat terbaik. Dan meratanya pemahaman itu ke seluruh kalangan, atau paling tidak pada sebagian besar tubuh umat ini adalah syarat bangkitnya umat itu. Untuk itu diperlukan upaya terus-menerus melakukan proses penyadaran itu. Dengan itu akan muncul individu-individu di kalangan umat, sedikit atau banyak, yang memiliki kesadaran tersebut. Di sinilah kunci perubahan bakal terjadi.
Kesadaran tersebut harus dikristalkan pada pribadi-pribadi yang siap berjuang mengembalikan Islam kepada posisinya, yakni sebagai penyuluh dan pengatur kehidupan manusia. Kesadaran perjuangan itu mengkristal dalam diri para pejuang itu manakala dalam diri mereka terdapat proses penyadaran posisi mereka sebagai muslim dan kewajiban agama yang harus mereka pikul. Masing-masing individu umat yang telah menyadari dan memahami kedudukannya sebagai muslim yang bakal menghadap Allah SWT, dia akan bangkit, dan bertekad mengubah cara pandangnya (yang selama ini sekular atau tidak jelas, menjadi cara pandang Islam yang jelas) dan bertekad untuk mengubah kebiasaan-kebiasan (pola) dalam sikap dan tingkah lakunya.
Pribadi-pribadi muslim yang sadar itu akan memegang prinsip dasar hidup (3M): (1) Menjadikan aqidah Islam sebagai asas berfikir dan pembentukan pemahamannya tentang kehidupan (asasul hadlarah). Dengan kata lain dia akan senantiasa menambah pemahamannya terhadap Al Quran dan As Sunnah sebagai sumber informasi dan inspirasi dalam memandang dunia dan dirinya, dan dalam memandang hak-hak dan kewajibannya sebagai hamba Allah. Dengan kekuatan aqidah atau keimanan itu dia akan terdorong maju tampil kehidupan dengan membawa visi dan misi seorang muslim yang jelas. (2) Menjadikan halal-haram yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya sebagai standar perbuatannya (miqyasul amal), baik dalam masalah ibadah, makanan, pakaian, akhlaq, muamalah, dalam hubungan-hubungan sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Dengan garis batas halal haram untuk kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara, akan dapat dinilai dengan jelas sesungguhnya apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan sesui tuntutan dan tuntunan syar’i. (3) Menjadikan ridlo Allah sebagai arti kebahagiaan (ma’nas sa’adah) dalam menjalani seluruh aktivitas hidupnya, yang didasari poin 1 dan distandarisasi dengan poin 2. Tujuan dan cita-cita mendapat ridlo Allah semata inilah dasar dari keikhlasan perjuangan pribadi-pribadi muslim yang sadar itu. Kombinasi kesungguhan dan gambaran hidup yang jelas, pengetahuan tentang gambaran ideal syariah Allah, dan keikhlasan, adalah energi yang luar biasa bagi sebuah perubahan.
Khatimah
Dengan prinsip dan pemahaman seperti itu, pribadi-pribadi yang sadar itu akan bangkit menjadi para penegak agama Allah yang dengan perjuangan mereka umat ini akan bisa dibangkitkan kembali. Dengan penyuluhan dan bimbingan mereka umat ini akan bisa digerakkan untuk meninggalkan pola kehidupan yang rusak yang deritanya telah mereka rasakan, lalu bersama-sama dengan para pejuang yang ikhlas itu berjuang melanjutkan kehidupan yang pernah digariskan dan dijalani oleh Rasulullah saw., dan insyaallah akan mampu mengulangi kejayaan sebagai yang pernah diperoleh generasi awal umat ini. Wallahua’lam!

Spiritualitas Seorang Muslim

Seorang muslim adalah orang yang telah menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada Allah SWT, sebagaimana yang senantiasa ia ikrarkan pada permulaan setiap kali dia melaksanakan sholat:
«وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ حَنِيْفاً مُسْلِماً وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِى، ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ اُمِرْتُ، وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
“Aku hadapkan wajahku kehadirat Sang Pencipta langit dan bumi sepenuh ketundukan dan kepasrahan diri, dan bukanlah aku dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidup dan matiku hanyalah bagi Allah Sang Penguasa semesta alam. Tiada sekutu apa pun bagi-Nya, dan demikianlah aku diperintahkan sedang aku termasuk dari orang-orang muslim.” (Lihat Ali Raghib, Ahkamus Sholat hal 127).
Namun terkadang kita sebagai muslim lupa bahwa setiap hari, minimal lima kali kita mendeklarasikan penyerahan kita kepada Allah SWT sebagaimana tersebut di atas. Di dalam sholat kita menyatakan pasrah diri dan tunduk kepada Allah, namun di luar sholat tidak jarang di antara kita ada yang berani menentang perintah Allah SWT, bahkan ada yang berani menyelewengkan agama Allah Azza wa Jalla. Astaghfirullah!
Kenapa hal itu bisa terjadi? Tidak lain adalah karena miskinnya spiritualitas di antara kita, bahkan ada yang tidak paham apa itu spiritualitas bagi seorang muslim. Oleh karena itu, tulisan ini akan menyegarkan kembali ingatan kita pada spiritualitas seorang muslim. Moga-moga mengingatkan kembali jati diri kita sebagai seorang muslim, hamba Allah Yang Maha Pengasih!
Arti Spirit, Aspek Spiritual, dan Spiritulitas
Spirit dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1996) diartikan sebagai jiwa, sukma, dan roh. Juga diartikan semangat. Satu kesalahan besar yang dilakukan oleh para filosof Barat dan Yunani selama berabad-abad adalah urain mereka bahwa manusia itu terdiri dari roh dan jasad, dimana roh, menurut mereka adalah bagian dari Tuhan, dan manakala roh itu dominan dalam diri seseorang, dia akan menjadi manusia yang baik, karena mendekati sifat-sifat ketuhanan. Sebaliknya, manakala yang dominan adalah jasadnya, manusia menjadi buruk sifatnya. Tentu saja teori jasmanani-rohani itu tanpa bukti, baik empirik maupun informasi dari kitab suci. Secara faktual, teori kuno itu tak bisa dibenarkan, karena nyawa manusia itu tidak bertambah dan berkurang dengan luhur dan rendahnya sifat manusia.
Roh dalam arti sukma atau nyawa manusia (sirrul hayah) adalah rahasia Tuhan. Manusia hanya bisa merasakan atau mengindera bekas-bekas adanya roh itu, seperti gerakan fisik, tumbuh, dan menjadi banyak. Tapi hakikat roh penyebab itu semua tak mungkin diketahui manusia. Allah SWT berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".(QS. AL Isra’ 85).
Oleh karena itu, roh yang dimaksud manusia—termasuk bangsa Barat dan Yunani yang salah alamat di atas—bukanlah nyawa, atau bagian yang ada dalam diri manusia, tapi merupakan sifat dari luar yang diinginkan manusia agar bisa mempengaruhi perbuatannya. Dan ini hanya bisa terjadi manakala manusia menyetir perbuatannya dengan aturan dari Dzat Yang Maha Luhur, yakni Allah SWT. Oleh klarena itu, roh atau spirit yang dimaksud adalah kesadaran hubungan manusia dengan Allah Sang Maha Pencipta. Itulah arti spirit yang sebenarnya bagi manusia, yang dapat membuatnya menjadi muslim sejati.
Dengan memahami arti spirit sebagai keadaran hubungan seorang muslim dengan Allah SWT, maka seorang muslim dapat memahami adanya aspek spiritual dalam dirinya, kehidupannya, maupun alam smesta tempatnya berpijak. Dirinya, kehidupannya, maupun alam semesta memiliki hubungan dengan Allah SWT, yaitu sebagai makhluk ciptaan-Nya. Sehingga masing-masing punya aspek spiritual. Aspek spiritual dirinya sebagai manusia bagi seorang muslim adalah keberadaan dia sebagai manusia ciptaan Allah SWT. Al Quran membimbingnya dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.(QS. Al Baqarah 21). Juga dapat dilihat pada QS. An Nisa 1, Ar Ruum 20, As Sajdah 7, AL Mukmin 67, Ar Rahman 14, Al Alaq 2.
Demikian juga kehidupannya, memiliki aspek spiritual, yakni keberadaan hidup dan mati hakikatnya adalah ciptaan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ هَلْ مِنْ شُرَكَائِكُمْ مَنْ يَفْعَلُ مِنْ ذَلِكُمْ مِنْ شَيْءٍ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.(QS. Ar Ruum 40). Juga bisa kita lihat pada QS. Al Baqarah 28, AL Hajj 66, Al Jatsiyah 26, dan Al Mulk ayat 2.
Dan seluruh alam semesta ini memiliki aspek spiritual, yakni keberadaan seluruh alam jagad raya ini sebagai ciptaan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al A’raf 54). Juga bisa kita lihat pada QS. AL Baqarah 29, Al Baqarah 164, Ali Imran 190, AL An’am 1, AL AN’am 101, dan Yunus 3.
Spiritualitas dalam diri manusia yang telah meyakini keberadaan Allah SWT sebagai sang Pencipta ( Al Khaliq) dan menyadari hubungannya dengan Allah SWT, yakni sebagai makhluk-Nya, adalah: perasaan tunduk dan tawadlu’ terhadap Sang Pencipta, Kekuasaan-Nya, dan Ilmu-Nya. (lihat Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah, hal. 14). Kalau perasaan ini bersifat kontinu, maka seorang muslim akan senantiasa hidup dalam suasana iman. Dan itu akan membantunya untuk bisa terikat dengan syariah Allah SWT dengan perasaan ridlo dan hatinya tenteram.
Hubungan Aspek Spiritual dengan Perbuatan Manusia
Allah SWT tidak hanya menciptakan alam semesta, tapi juga mengaturnya. Ini ditegaskan dalam firman-Nya:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. (QS. Yunus 3).
Allah SWT menurunkan syariah untuk mengatur kehidupan manusia. Allah menurunkan Al Quran untuk menjadi petunjuk, penjelas, dan garis batas, antara yang boleh dilakukan (haq), dan yang tak boleh dilakukan manusia (batil). Allah SWT berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).(QS. Al Baqarah 185).
Allah SWT pun menyuruh kita untuk senantiasa mengikuti petunjuk-Nya. Dia SWT berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya..(QS. Al A’raf 3).
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.(QS. AL Hasyr 7).
Oleh karena itu, bagi orang yang memiliki spirit dalam arti kesadaran hubungannya dengan Allah, maka pada hakikatnya seluruh perbuatannya ada dalam daerah hukum Allah SWT. Jadi semua perbuatan manusia tidak lepas dari aspek spiritualnya, yaitu keberadaannya di daerah hukum Allah SWT. Dan Allah SWT bakal memberikan penilaian dan balasan atas perbuatannya itu, kecil maupun besar.Ketika dia makan, dia yakin bahwa apa yang dimakan, apakah halal atau haram dzatnya, apakah halal ataukah haram pemilikannya, semua akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT. Kalau dia berpakaian, apakah halal barang yang dipakainya, dan apakah telah menutup aurat seperti tuntunan syariah? Kalau ia bermuamalah, dia yakin bahwa kelak bakal ditanya apakah akad muamalahnya sesuai ketentuan akad syariah Islam ataukah malah justru mengikuti sistem transaksi kapitalisme? Kalau dia berpolitik, dia yakin bakal ditanya kelak, apakah berpolitik sesuai tuntunan Rasulullah saw., ataukah malah mengikuti Montesque? Atau bahkan mengikuti Machiavelli?
Dan seorang muslim yakin bahwa Allah SWT akan mengabarkan-Nya kelak di hari akhirat seluruh perbuatan manusia. Dia berfirman:
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".(QS. AL Jumu’ah 8).
Khatimah
Dengan kesadaran akan aspek spiritual tersebut, seorang muslim akan berjalan mantap dengan sikap hidup mengemban syariah Allah SWT. Dan dengan kesadaran spiritualitas dalam dirinya, seorang muslim akan senantiasa dapat mensinergikan antara pernyataannya penyerahannya sebagai muslim di dalam sholatnya dengan perbuatannya di seluruh pentas kehidupan nyata. Wallahu a’lam!

Membangun Kesadaran Spiritual

Spiritualitas dalam diri manusia adalah perasaan tunduk dan tawadlu’ terhadap Sang Pencipta, Kekuasaan-Nya, dan Ilmu-Nya yang muncul lantaran kesadarannya terhadap hubungannya dengan Allah SWT, Pencipta Alam jagad raya ini. (lihat Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyah, hal. 14). Kalau perasaan ini bersifat kontinu, maka seorang muslim akan senantiasa hidup dalam suasana iman. Dan itu akan membantunya untuk bisa terikat dengan syariah Allah SWT dengan perasaan ridlo dan hatinya tenteram.
Sayang, manusia sering lupa diri, lupa Allah SWT, dan lupa penciptaan dirinya oleh Allah SWT. Sehingga spiritualitas tidak muncul dalam dirinya. Allah SWT memberikan contoh orang seperti itu dalam firman-Nya:
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلاً وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" (QS. Yasin 78).
Orang yang lupa itu merasa heran, bagaimana mungkin tulang-belulang bisa dihidupkan kembali? Meragukan kekuasaan Allah SWT. Padahal amat mudah bagi Allah SWT yang telah menciptakan manusia pertama kalinya daripada sekedar mendaur ulang tulang-belulang itu.
Kenapa spiritualitas hilang pada diri seseorang? Jawabannya tentu lantaran tidak adanya atau hilangnya kesadaran spiritual itu. Maka bagaimana mewujudkan kesadaran spiritual? Dan bagaimana agar kesadaran spiritual itu bersifat kontinu? Tulisan ini akan menjelaskannya.
Mewujudkan kesadaran spiritual
Untuk mewujudkan kesadaran spiritual, maka seseorang harus memiliki spirit terlebih dahulu. Spirit dalam arti kesadaran hubungan dirinya dengan Allah SWT. Untuk itu dalam dirinya harus ada terlebih dahulu keimanan kepada Allah SWT, Pencipta dirinya, alam semesta, dan seluruh kehidupan yang ada. Itu tidak sulit.
Orang yang sedikit saja menggunakan akalnya untuk memikirkan keberadaan dirinya, kehidupannya, dan alam semesta yang ada di sekitarnya, akan menemukan kesimpulan bahwa di balik keberadaan manusia, alam semesta dan kehidupan di dunia ini, dengan segala keterbatasan dan kelemahannya, ada Sang Pencipta (Al Khaliq) yang menciptakan semuanya itu. Al Quran pun membimbing akal manusia bahwa Sang Pencipta yang menjadi kreator dari alam semesta, manusia, dan kehidupan ini adalah Allah SWT.
Wahyu yang datang pertama kali kepada Rasulullah saw. langsung membimbing manusia kepada keberadaan Sang Pencipta manusia. Allah SWT berfirman:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(١)خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(٢)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al Alaq 1-2).
Al Quran juga merangsang manusia untuk memperhatikan alam semesta di sekitarnya untuk memperkuat spirit atau kesadaran itu. Allah SWT berfirman:
أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ(١٧)وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ(١٨)وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ(١٩)وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ(٢٠)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al Ghasyiyah 17-20).
Setelah mengajak manusia memperhatikan bagaimana penciptaan onta, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan, Allah SWT langsung meminta kepada Rasulullah saw. untuk memberikan peringatan kepada manusia tentang adanya hubungan antara Allah SWT dengan makhluk-makhluk-Nya, yaitu hubungan penciptaan (shilatul-khalq). Dia SWT berfirman:
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ
Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.(QS. Al Ghasyiyah 21).
As Shaabuni dalam Shafwatut Tafaasiir Juz III/526 menafsirkan ayat ini dengan : hai Muhammad, nasihatilah mereka dan peringatilah mereka agar takut kepada Allah, dan janganlah memprihatinkan kamu bila mereka tidak memperhatikan dan memikirkan kejadian-kejadian alam yang ada.
As Shabuni (idem) menerangkan, hikmah disebutnya empat hal di atas adalah bahwasanya Al Quran itu turun kepada bangsa Arab. Mereka sering kali bepergian melewati padang-padang pasir dan lembah-lembah terpisah dari manusia. Manusia bila jauh dari kota biasanya mudah merenung (tafakkur). Pertama yang dia lihat adalah onta yang ditungganginya, dia akan melihat keajaiban. Kalau dia melihat ke atas, maka tidak ada yang dia lihat selain langit. Kalau dia melihat kanan kiri, maka tiada terlihat kecuali gunung-gunung. Dan kalau dia melihat ke bawah, maka tiada yang dilihat kecuali bumi. Ibnu Katsir, yang dikutip As Shabuni, mengatakan bahwa Allah memberikan peringatan kepada orang Badwi agar mengambil bukti-bukti dari yang disaksikannya, yaitu onta yang dia tunggangi, langit yang ada di atas kepalanya, gunung yang ada di depannya, dan bumi yang ada di bawahnya, atas kekuasaan pencipta dan pembuatnya, yaitu Tuhan yang Maha Agung (ar Rabbul Azhiim), Sang Pencipta, Pemilik dan Pengatur jagad raya ini yang tidak layak ibadah dilakukan kepada selain Dia (Mukhtashor Ibnu Katsir Juz 3/634).
Tentang keajaiban onta, As Shabuni mengutip kitab At Tashiil Juz 4/196 yang mengatakan : Allah SWT mengkhususkan menyebut onta (ibil) pada ayat di atas adalah karena onta merupakan binatang Arab yang paling utama, yang paling banyak manfaatnya yang dengannya dinamakan “perahu padang pasir” (safinatus shahraa). Maka perhatikanlah penciptaannya yang ajaib. Sebab, onta binatang padang pasir yang paling kuat. Namun demikian dia tunduk pada anak kecil yang lemah. Dia akan duduk untuk mendekatkan diri pada penumpangnya, lalu dia akan berdiri dengan membawa segala tumpangannya dengan segenap kekuatannya. Juga, onta tahan terhadap rasa lapar dan haus dalam perjalanan berhari-hari. Maha Suci Allay Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana!
Agar kesadaran spiritual tetap kontinu
Senantiasa “on” dalam kesadaran hubungan dengan Allah Sang Pencipta tidak mudah. Tapi bukan mustahil. Dan ini penting. Sebab, terjadinya kemaksiatan dan berbagai pelanggaran hukum Allah SWT adalah lantaran terjadinya “off” pada kesadaran hubungan dengan Allah SWT dan hilangnya spiritualitas pada diri seseorang. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
َلا يَزْنِي الزَّانِيُ حِيْنَ يَزْنِيُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ , وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ , وَلاَ يُسْرِقُ حِيْنَ يُسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ...
“Seorang pezina tidak akan berzina, jika saat berzina ia dalam keadaan mukmin, tidaklah seseorang akan meminum khamer jika saat meminumnya ia dalam keadaan mukmin, tidaklah seseorang akan mencuri jika saat mencuri itu ia dalam keadaan mukmin,…” (HR. Bukhariy)
Oleh karena itu, agar perbuatan kita senantiasa lurus, kita wajib mengupayakan agar kesadaran spiritual kita tetap kontinu.
Dan Islam memberikan berbagai jalan agar kesadaran spiritual itu tetap kontinu, antara lain: Pertama, senantiasa memperbaharui keimanan (tauhid) dan komitmen sebagai hamba Allah SWT yang membutuhkan petunjuk, pertolongan, dan perlindungan-Nya. Hal ini ditempuh dengan dzikir kalimat lailahaillallah, dan diperkuat dengan kalimat-kalimat dzikir lainnya seperti tasbih, tahmid, takbir, dan istighfar. Dilakukan setiap selesai sholat wajib, dan setiap kali ada kesempatan, khususnya malam hari menjelang tidur.
Kedua, berusaha memahami dan merasakan apa yang dibaca di dalam sholat, seperti pernyataan penyerahan diri dalam doa iftitah:
«وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضَ حَنِيْفاً مُسْلِماً وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. اِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِى، ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ اُمِرْتُ، وَاَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.
“Aku hadapkan wajahku kehadirat Sang Pencipta langit dan bumi sepenuh ketundukan dan kepasrahan diri, dan bukanlah aku dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidup dan matiku hanyalah bagi Allah Sang Penguasa semesta alam. Tiada sekutu apa pun bagi-Nya, dan demikianlah aku diperintahkan sedang aku termasuk dari orang-orang muslim.”
Demikian pula pada saat mengucapkan kalimat :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(٥)اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ(٦)
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan Tunjukilah kami jalan yang lurus,(QS. Al Fatihah 5-6).
Ketiga, gemar bertafakkur dan memiliki tradisi berfikir, khususnya memikirkan dan memperhatikan keberadaan ciptaan-ciptaan Allah SWT. Allah menggelari Ulil Al Abab (Orang Yang Berakal) kepada orang yang senantiasa mengingat-Nya dan juga memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya (lihat QS. Ali Imran 191).
Keempat, memperbanyak membaca ayat-ayat Al Quran yang mengungkap aspek spiritual dari manusia, kehidupan, dan alam semesta sehingga spirit dan kesadaran spiritual dalam diri kita semakin meningkat (misal: QS. Ar Ra’du 1-7, An Nahl 1-21, Ar Ruum 19-27)
Kelima, memperbanyak membaca ayat-ayat yang menghubungkan dunia dengan akhirat, sehingga ada kesadaran bahwa hidup ini tidak hanya di dunia saja. Ada akhirat, dan segala sesuatu yang dilakukan di dunia pasti akan berdampak ke akhirat (misal: QS. Al Baqarah 281, Ali Imran 25, AL An’am 70, Al Muddatsir 38).
Keenam, memperbanyak puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis, puasa hari putih (tiap tanggal 13,14,15 Hijriyah), hari Arafah (9 Dzulhijjah), hari Asyura (10 Muharram), dan hari Tasu’a (9 Muharram) sesuai dengan keterangan dalam hadits-hadits.
Ketujuh, senantiasa berupaya memecahkan persoalan-persoalan dengan syariah Allah SWT sebagai upaya memadukan kesadaran hubungan dengan Allah dengan perbuatan kita dalam rangka mencari ridlo-Nya. Para sahabat dulu biasa bertanya kepada Rasulullah saw. terhadap persoalan mereka.(lihat: QS. Al Baqarah 215, Al Anfal 1, Mujaadilah 1).
Dengan demikian seorang muslim akan sadar bahwa keberadaannya di dunia tiada lain kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT. Ia akan senantiasa berdisplin melaksanakan ibadat yang difardlukan dan gemar melaksanakan ibadat sunnah. Saat dia berdiri di atas batu di tepi laut, dia sadar betul bahwa batu tempatnya berpijak adalah ciptaan Allah SWT. Saat dia melihat ikan-ikan kecil yang bergerak berkejaran di dalam air dengan berbagai gerak dan kecepatannya yang khas, ia sadar bahwa kreator di balik fenomena itu adalah Allah SWT. Saat dia hendak mengambil ikan untuk dia makan, dia sadar bahwa Allah telah mensucikan air laut dan menghalalkan bangkai ikannya. Tatkala melihat transaksi para nelayan dan pedagang ikan di dermaga, dia sadar bahwa Allah menghendaki agar kaum muslimin hanya berdagang atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan, tidak saling menzalimi, tidak saling mencurangi, dan tidak memakan harta saudaranya dengan cara batil. Kalau dia seorang penguasa muslim, ia sadar, bahwa nelayan dan pedagang itu berhak atas kemudahan bermuamalah, keadilan, dan kesejahteraan hidup. Namun ia lebih sadar lagi bahwa, sebagai penguasa, dialah yang wajib memenuhi hak-hak rakyat itu.
Khatimah
Itulah sedikit gambaran orang yang telah terbangun kesadaran spiritualnya. Kesadaran spiritual yang tidak hanya di wilayah privat, tapi juga meliputi wilayah publik. Semoga kita termasuk orang seperti itu. Amin, ya Rabbal Alamin!

ADMINISTRASI NEGARA ISLAM

Oleh: Achmad Junaidi Ath Thayyibiy,SIP
1. PENDAHULUAN
Allah swt. Telah menurunkan risalah Islam dan menjadikannya berdiri di atas landasan aqidah tauhid, aqidah: Laa Illaaha IllaLlaah, Muhammadur Rasulullah.
Islam merupakan risalah yang besifat universal, mengatur hubungan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya, dengan memandangnya sebagai manusia. Hubungan manusia secara vertical dengan Sang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur, AL Khaliq termanifestasikan dalam bentuk ikatan aqidah dan keharusan beribadah hanya kepada-Nya, serta pengakuan hanya Dia lah Yang Maha Pembuat seluruh Aturan Hukum (system), dan sama sekali tidak mempersekutukannya dengan apapun. Juga kewajiban untuk mengikuti semua aturan dan hukum (system) tersebut, serta wajib terikat dengan seluruh perintah dan larangan-Nya. Disamping juga wajib menjadikan Nabi Muhammad saw. Sebagai utusan Alah, yang wajib diikuti, diteladani dan diambil ajaran-ajarannya, dengan tidak mengikuti selain ajarannya, ataupun mangambil ajaran manusia yang lain.
﴿وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا﴾
“Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul untukmu, maka ambillah, dan apa saja yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr [59]: 7)
Islam telah datang dengan membawa corak pemikiran yang khas, dimana dengan pemikiran itu ia bisa melahirkan sebuah peradaban yang khas pula, yang berbeda sama sekali dengan peradaban yang lainnya. Dan Dengan pemikiran-pemikiran itu pula, ia mampu melahirkan kumpulan konsepsi kehidupan, serta menjadikan benak para penganutnya dipenuhi dengan corak peradaban tersebut. Pemikiran-pemikiran itu muga telah melahirkan pandangan hidup yang khas, yang mampu membangun sebuah masyarakat, dimana pemikiran, perasaan, system dan manusianya menjadi suatu kesatuan yang khas pula.
Demikian pula Islam dating dengan membawa aturan paripurna dan sempurna, yang mampu menyelesaikan seluruh problem interaksi di dalan negara dan masyarakat, baik masalah pemerintahan itu sendiri, ekonomi, social, peradilan, pendidikan maupun politik di dalam maupun luar negeri; baik yang menyangkut interaksi umum, antara negara dengan anggota masyarakatnya, atau antara negara dengan negara, maupun negara dengan umatdan bangsa-bangsa lain; dalam keadaan damai maupun perang. Ataupun yang menyangkut interaksi secara khusus antara anggota masyarakat satu dengan yang lainnya.
2.TUJUAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Islam adalah system yang sempurna. Di dalamya terdapat aturan yang mengatur segala bentuk interaksi antar manusia, seperti system social, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Adanya aturan-aturan semacam ini meniscayakan adanya negara yang melaksanakan dan menerapkan atutan-aturan tersebut atas segenap manusia. Islam telah menetapkan sisten yang baku bagi pemerintahan. Islam juga telah menetapkan system administrasi negara yang khas pula untuk mengelola negara, disamping itu Isalam menuntut kepada penguasa sebagai kepala negara untuk menjalankan seluruh hukum Allah kepada seluruh manusia yang menjadi rakyatnya.
Negara Islam adalah negara yang bersifat politis. Negara Islam tidak bersifat sacral. Kepala negara tidak diangap memiliki sifat-sifat orang suci. Sebagai sebuah gambaran, Umar bin Khathab pernah berkata kepada rakyatnya,” Barang siapa yang melihat ada kebengkokan pada diriku maka luruskanlah.” Lantas salah seorang menyambutnya dengan mengatakan,”Andaikan kami melihat sesuatu kebengkokan pada dirimu, maka kami akan meluruskannya dengan pedang kami,” Umar pada saat itu hanya mengatakan,”Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dalam umat Muhammad orang yang mau meluruskan yang bengkok pada diri Umar dengan mata pedangnya,”.
Negara yang dimaksudkan di sini adalah Daulah Khilafah yang di kepalai oleh Khalifah, yang juga disebut sebagai Amirul Mukminin, Sulthan atau Imam.
Di sini Allah SWT telah menjelaskan beberapa maksud dan tujuan dari pemerintahan Islam, yaitu:
Memelihara Agama
Negara, terutama Khalifah, bertanggung jawab untuk memelihara Aqidah Islam. Dalam hal,ini dilakukan dengan mengoptimalkan wewenang yang diberikan oleh syara’ kepadanya.Negaralah satu-satunya institusi yang behak membunuh orang-orang murtad dan memberi peringatan kepad siapa saja yang menyeleweng dari agama, Sabda Rasul saw.
“Barang siapa yang menganti agamanya(murtad) maka bunuhlah”(HR Bukhari)
Mengatur urusan masyarakat dengan cara menerapkan hukum syara’ kepada seluruh manusia tanpa membeda-bedakan individu-individunya.Firman Allah swt.
﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ﴾
”Hendaklah kamu menetapkan hukum diantara mereka berdasarkan apa yang diturunkan Allah” (QS. Al Maidah [5]: 49)
Sabda Rasululah saw.
“Seorang imam(kepala negara)adalah perngatur dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusannya tersebut.
Menjaga Negara dan umat dari orang-orang yang melakukan tindakan sabotase negara, dengan cara melindungi batas-batas negara, mempersiapkan pasukan militer yang kuat dan persenjataan yang cangih utnuk melawan musuh, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasululah dan para Khalifah sesudah beliau. Firman Allah:
﴿وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ﴾
“Persiapkanlah untuk (menghadapi) mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, berupa kuda-kuda yang ditambatkan agar kalian mengentarkan musuh Allah dan musuh kalian dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya,” (QS. Al-Anfal [8]: 60)
Menyebarkan dakwah Islam kepada segenap manusia di luar wilayah Negara, yaitu dengan cara menjalankan jihad sebagaimana yang dilakukan Rasululah pada beberapa peperangan, misalnya penaklukan Makkah dan perang Tabuk. Begitu pula pernah dilakukan oleh para Khulafa’ sesudah beliau, mereka melakukan berbagai penaklukan ke wilayah Syam,Irak,Mesir, Afrika Utara dan menyebarluaskan Islam di sana. Rasululah saw. Bersabda:
“Jihad tetap berlangsung sejak aku diangkat menjadi rasul sampai generasi terakhir dari umatku memerangi Dajjal. Jihad tidak dapat dibatalkan oleh dzalimnya pemimpin yang buruk atau adilnya pemimpin yang adil”
Menghilangkan pertentangan dan perselisihan diantara anggota masyarakat dengan penuh keadilan. Hal ini dilakukan dengan cara menjatuhkan sanksi kepada mereka yang berbuat dzalim; memperlihatkan keadilan terhadp orang yang didzalimi sesuai dengan hukumyang disyari’atkan. Allah berfirman:
﴿وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ﴾
“Jika kalian menetapkan hikum di antara manusia hendaklah kalian menghukum dengan adil (QS. An Nisa’[4]: 58)
Abu Bakar ra. Pernah berkata:”Orang yang (diangap) kuat di tengah-tengah kalian adalah lemah dihadpanku, hinga aku dapat mengambil(hak tersebut) darinya.Sedangkan orang yang (diangap) lemah ditengah-tengah kalian adalah kuat di hadapanku, hinga aku dapat mengambilkan(haknya) untuknya”. (Husain Abdulah, Dirasat Fil Fikril Islam).
3. SISTEM ADMINISTRASI NEGARA
Memenuhi urusan rakyat termasuk kegiatan ri’ayatus syu’un, sedangkan ri’ayatus syu’un itu adalah semata-mata wewenang Khalifah, maka seorang Khalifah memiliki hak untuk mengadopsi teknis administrasi (uslub idari) yang dia kehendaki, lalu dia perintahkan agar teknis administrasi tersebut dilaksanakan. Khalifah juga memiliki hak diperbolehkan membuat semua bentuk perundang-undangan dan system administrasi (nidzam idari), lalu mewajibkan atas seluruh rakyat untuk melaksanakannya. Karena, semuanya itu merupakan kegiatan-kegiatan substansi. Khalifah juga diperbolehkan untuk memerintahkan salah satu diantaranya, kemudian hal menjadi mengikat atas semua orang untuk melaksanakan aturan tersebut, tidak dengan aturan yang lain. Maka, pada saat itu hukum mentaatinya menjadi wajib. Sebab hal ini merupakan kewajiban untuk mentaati salah satu hukum yang ditetapkan oleh Khalifah.
Dalam hal ini artinya Khalifah telah menetapkan suatu hukum (tabanniy) terhadap suatu perkara yang telah dijadikan oleh syara’ sebagai haknya. Artinya Khalifah telah melakukan hal-hal yang diangap perlu untuk memudahkannya dalam menjalankan tuganya, yaitu ri’ayatus syu’un. Oleh karena itu ketika dia menetapkan suatu hokum berkaitan dengan system administrasi, rakyat wajib terikat dengan apa yang telah ditetapkannya tersebut., dan perkara ini termasuk dalam hal ketaatan terhadap ulil amri.
Hal yang tersebut di atas merupakan kegiatan administrasi negara dilihat dari sisi penaganannya, sedangkan dalam kaitannya mengenai rincian kegiatan administrasi, dapat diambil dari fakta kegiatan administrasi itu sendiri.
Dengan meneliti faktanya, akan nampak bahwa di sana terdapat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Khalifah sendiri atau oleh para apembantunya (mu’awin). Baik berupa kegiatan pemerintahan, yaitu menerapkan hukum syara’, ataupun kegiatan administrasi, yaitu melaksanakan semua urusan yang bersifat substansi, dari kegiatan penerapan hukum syara’, bagi semua orang. Dimana hal ini memerlukan cara dan sarana tertentu. Oleh karena itu harus adan aparat khusus yang dimiliki khalifah dalam rangka mengurusi urusan rakyat sebagai tangung jawab kekhilafahan tersebut. Disamping itu, ada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan rakyat yang harus dipenuhi. Maka Hal ini membutuhkan adanya instansi yang secara khusus bertugas memenuhi kepentingan rakyat, dan ini adalah suatu keharusan, berdasrkan kaedah:
“Apabila suatu kewajiban tidak sempurna ditunaikan, kecuali dengan adanya suatu perkara, maka mewujudkan perkata tersebut adalah wajib”
Instansi tersebut terdiri dari departemen, jawatan, dan unit-unit tertentu. Departemen antara lain Pendidikan, Kesehatan, Pertanian, Perhubungan, Penerangan, Pertanahan, dan lain sebagainya. Semua departeman mengurusi departemennya sendiri, beserta jawatan dan unit-unit di bawahnya. Sedangkan jawatan adalah instansi yang mengurusai jawatanya dan unit-unit di bawahnnya. Adapun unit-unit tersebutmengurusi urusn unit itu sendri, beserta bagian-bagian dan sub bagian di bawahnya. Semuanya di bentuk untuk menjalankan urusan- urusan administrai negara, serta memenuhi kepentingan-kepentingan rakyat. Dan pada tingkat yang paling atas diangkat pejabat yang bertanggungjawab kepada Khalifah dan secara langsung mengurusi urusan departemen tersebut, berikut para aparat ditingkat ke bawahnya hingga sub-sub bagian di dalam departemen tersebut.
Inilah penjelasn fakta system administrasi negara, yang merupakan perangakat umum bagi semua rakyat, termasuk siapapunyang hidup di dalam naungan negara Islam. Instansi-instansi tersebut biasanya disebut “Diwan” atau “Diwannud Daulah”.(An Nabhanni, Nidzamul Hukmi Fil Islam, terj. Hal. 280).
4. SEJARAH ADMINISTRASI NEGARA ISLAM
Di masa Rasululah saw belum pernah di bentuk secara khusus system administrasi negara bagi departeman dan diwan teresebut dengan ketentuan secara khusus, akan tetapi beliau hanya mengangkat para “katib” pencatat, untuk setiap departemen tersebut, di mana mereka layaknya pejabat yang mengepalai suatau jawatan tertentu sekaligus pencatatnya.
Orang yang mula-mula membuat diwan dai dalam Islam adalah Umar bin Khathab ra. Adapun yang menyebabkan beliau membuat diwan adalah, ketika beliau mengutus utusan dengan membawa “hurmuzan”, lalu orang itu berkata kepad Umar: “Ini adalah utusan yang keluarganya telah engkau beri bagian harta. Bagaimana kalau salah seorang di antara mereka ada yang terlupakan, dan dia tetap menahan dirinya, lalu dari mana bawahanmu bias mengetahuinya? Maka buatlah diwan untuk mengurusi mereka.” Maka Umar bertanya kepadanya tentang diwan tersebut, kemudian dia menjelaskanya kepada Umar.(An Nabhanni,ibid)
Abid bin Yahya meriwayatkan dari Harits bin Nufail, bahwa Umar ra. Meminta pendapat kaum muslimin untuk membuat diwan, lalu Ali bin Abi Thalib ra. Berkata: ”Engkau bagi saja harta yang telah terkumpul padamu, tiap tahun sekali. Dan jangan sedikitpun engkau menyimpannya,” Lalu Utsman ra. Menyampaikan usul:”Aku melihat orang-orang mempunyai harta yang banyak sekali. Kalau tidak pernah ihitung, hinga tidak tahu mana yang sudah dipungut dan mana yang belum, aku khawatir masalah ini akan merebak.” Kemudian Al Walid bin Hisyam mengusulkan:”Aku pernah berada di Syam, lalu aku melihat raja-raja di sana membuat diwan, dan mengatur para prajuritnya(dengan diwan tersebut). Maka, buatlah diwan dan aturlah prajurit tersebut(seperti mereka).” Umar akhirnya mengambil usulan Walid tersebut. Lalu beliau memangil Uqail bin Abi Thalib, Mukhrimah bin Naufal, Jubair bin Muth’im, yang mana mereka adalah pemuda-pemuda keturunan Quraisy. Kemudian beliau memerintahkan kepada mereka;” Catatlah semua orang itu menurut tempat tinggal mereka.
Setelah Islam mulai merambah dan mulai nampak di Iraq, maka diwanul istifaa’ (Instansi pengumpul harta Fai’) dan instansi pengumpul harta mulai berjalan seperti praktek yang terjadi sebelumnyadi sana. Diwan Syam mempergunakan gaya Romawi, sedangkan Diwan Iraq menggunakan gaya Persia. Kemudian pada masa Abdul Malik bin Marwan, maka belia mentrasnfer diwan Syam tersebut ke Arab pad tahun 81 hijriyah. Lalu disusul dengan pembentukan diwan-diwan sesuai dengan kebutuhan untuk memenuhi tuntutan menagani urusan rakyat. Semisal diwan yang dikhususkan untukmengurusi masalah pasukan, yang bertugas untuk mengangkat dan memberikan gaji tentara. Ada pula sebagai pengatur masalah pekerjaan, yang bertugas memberikan instruksi dan upah. Ada juga diwan yang mengurusi para wali dan amil yang bertugas untuk mengurusi pengangkatan dan pemberhentian mereka. Ada juga diwan yang bertugas mengurusi kas negara (baitul maal), yang bertugas mengurusi pendapatan dan pengeluaran negara.Dan seterusnya. Maka diwan-diwan tersebut, semuanya berhubungan dengan kebutuhan, dan secara teknis biasa saja berbeda-beda dari masa ke masa sesuai dengan kemaslahatan yang dibutuhkan.
5. SIFAT ADMINISTRASI NEGARA ISLAM
Administrasi Negara dalam Islam dibangun berdasarkan falsafah: wa-in kaana dzu ‘usratin fanadhiratun ila maysarah (jika ada orang yang mempunyai kesulitan, maka hendaknya dilihat bagaimana memudahkanya). Dengandemikian ia bersifat untuk memudhkan urusan dan bukan untuk menekan apalagi memeras orang yang menghendaki kemaslahatannya dipenuhi atau ditunaikan. Dan startegi yang di jalankan dalam rangka mengurusi maslah administrasi ini adalah dilandasi dengan suatu kaedah: SEDERHANA DALAM PERATURAN, CEPAT DALAM PELAYANAN, serta PROFESIONAL DALAM PENANGANAN. Hal ini diambil dari realitas pelayanan terhadap kebutuhan itu sendiri. Karena umumnya orang yang mempunyai kebutuhan tersebut menginginkan agar ebutuhannya dilayani dengan cepat dan terpenuhi dengan sempurna (memuaskan).
Rasulullah saw. Bersabda:
“Seseungguhnya Allah memerintahkan kesempurnaan dalam segala hal. Maka, Apabila kalian membunuh (dalam hukuman Qishas), sempurnakanlah pembunuhannya. Dan Apabila kalian, menyembelih, maka sempurnakanlah sembelihannya.” (HR. Imam Muslim)
Karena itu, kesempurnaan dalam menunaikan pekerjaan jelas diperintahkan oleh syara’. Agar tercapai kesempurnaan dalam menunaikan urusan tersebut, maka penanganannya harus memenuhi tiga kriteria tersebut, 1) sederhana dalam peraturan, karena dengan kesederhanaan itu akan menyebabkan kemudahan. Kesederhanaan itu dilakukan dengan tidak memerlukan banyak meja,atau berbelit-belit Sebaliknya aturan yang rumit akan menimbulkan kesulitan yang menyebabkan para pencari kemaslahatan menjadi susah dan jengkel. 2) cepat dalam pelayanan, karena kecepatan dapat mempermudah bagi orang yang mempunyai kebutuhan terhadap sesuatu untuk meperolehnya,dan 3) Pekerjaan itu ditangani oleh orang yang ahli (professional). Sehingga semuanya mengharuskan kesempurnaan kerja, sebagaimana yang dituntut oleh hasil kerja itu sendiri.
Dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip kemudahan ini pula system administrasi dalam Islam tidak bersifat sentralistik, yang ditentukan semuanya oleh pusat, sebaliknya bersifat desentralisasi, atau diserahan kepada masing-masing desa, kecamatan, kabupaten/kota, atau propinsi. Dengan demikian kemaslahatan yang akan deselesaikan dapat ditunaikan dengan cepat dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tanpa harus menunggu disposisi, keputusan dari atas atau pusat.
Dan karena perkara ini adalah bagian dari uslub yang mempunyai sifat fleksibel dan temporal. Artinya, dengan fleksibilitasnya, masalah administrasi akan selalu mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan yang hendak dipecahkan atau diselesaikan. Dengan sifatnya yang temporal, Administrasi negara bias berubah sewaktu-waktu, jika dipandang tidak lagi sesuai atau tidak cocok lagi dengan kemaslahatan yang dituntut untuk dipenuhi.
ISLAM MENJAGA KUALITAS SDM APARAT YANG UNGGUL GUNA MEWUJUDKAN CLEAN & GOOD GOVERNANCE
Keunggulan SDM para aparat yang mendapatkan amanat untuk melaksanakan tugas pelayanan administrasi negara dalam Islam dilahirkan dari bahwasanya menurut pandangan Islam tugas atau pekerjaan administrative, adalah kewajiban dan tanggung jawab. Karena itu Islam menetapkan persyaratan khusus bagi setiap aparat, yaitu keahlia teknis administrasi tertentu. Ketetapan seseorang yang diangakat untuk menjalankan tugas di daerah-daerah dan di lapangan administrasi negara dan di dalam aparat pemerintahan yang lain didasarkan pad kemampuan melaksanakan tugas dengan jujur, adil, ikhlash, dan taat kepada perundang-undangan negara, politis maupun administrative. Pemilihan seseorang untuk menduduki jabatan tertentu berdasarkan ukuran tersebut. Disamping itu bagi para penguasa dikenakan syarat khusus, yaitu sifat-sifat tertentu yang berkaitan dengan tugas pekerjaan yang akan menjadi tangung jawab nya. Seorang Hakim, misalnya ia harus seorang muslim yang merdeka, cerdas, adil, dan menguasai ilmu fiqh (hukum Islam).Seorang pengasa daerah harus seorang yang muslim, merdeka, cukup usia adil, memiliki kemampuan untuk memimpin urusan daerah yang menjadi kekuasaannya. Selain itu ia harus seorang yang ahli taqwa kepad Allah swt. Dan mempunyai kepribadian yang kuat. Yang dimaksud kuat dalam hal ini adalah kekuatan mental dan spiritual. Kekuatan mental ialah kecerdasan berfikir mengenai soal\soal hukum sehinga ia dapat mengetahui berbagai persoalan dan hubungan saling keterkaitannya. Dan yang dimaksud kekuatan spiritual dalam hal ini adalah bahwa seorang penguasa harus menyadari benar-benar bahwa dirinya adalah seorang amir (penguasa) yang kecenderungan fikiran dan perbuatannya harus sesuai dengan kedudukannya sebagai amir.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abu Dzar ra. Yang mengatakan sebagai berikut.: “Aku pernah berkata,: Yaa Rasulallah, apakah anda tidak berkenan mengangkat diriku sebagai penguasa daerah? Rasul saw. Menjawab seraya menepuk-nepuk kedua bahuku:”Hai abu Dzar, anda seorang yang lemah, sedangkan tugas ituadalah suatu amanah yanag akan membuat orang menjadi hina dan menyesal pada hari kiamat, kecuali jika ia mampu menunaikan hak dan kewajiban yang dipikulkan kepadanya.”
Atas dasar itulah maka seorang Walliyyul Amri wajib mengangkat orang di kalangan kaum muslimin yang paling tepat, right man, untuk melaksanakan tugas pekerjaan yang dipercayakan kepadanya. Rasul saw. Telah menegaskan:
“Barang siapa mengangkat seorang sebagai pemimpin jamaah, padahal ia tahu bahwa di dalam kelompok itu terdapat orang yang lebih baik, maka ia telah mengkhianati Allah, mengkhianati Rasul-Nya dan mengkhianati kaum Mu’minin,” (Diriwayatkan oleh Al Hakim di dalam “AL Mustadrak”)
Kerusakan system administrasi yang terjadi di seluruh dunia saat ini yang mengakibatkan jatuhnya martabat negara yang jatuh di tangan system administrasi negara dan system politik sewenang-wenang, sehingga tidak mampu dan tidak berhasil mengatasi berbagai problem penyelewengan yang dilakukan oleh para penguas dan pejabatnya; apalagi mengikis segala kerusakan sampai ke akar-akarnya, guna menyelamatkan kekayaan negara dan kekayaan individu rakyat dari keserakahan orang yang hendak berbuat korupsi, maling, menyalahgunakan wewenang, menipu, manipulasi, dan sebagainya. Apalagi menjamin terpeliharanya keamanan negara di dalam negeri, menegakkan keadilan, berlakunya prinsip ”supremasi hukum” bagi semua orang tanpa membeda-bedakan yang memerintah dan yang diperintah!!!
Maka yakinlah, keadaan seperti di atas tidak mungkin terwujud kecuali di bawah pengayoman system dan hukum Islam.
Kalau pada jaman dahulu Islam sanggup mengikis habis kerusakan administrasi dibawah Persia dan Romawi, maka tidak diragukan lagi kalau dewas ini pun Islam akan tetap sangup menanggulangi kerusakan administrasi negara yang melanda semua negara di dunia ini, termasuk negara-negara yang dijuluki negara-negara maju, seperti Amerika, Inggris, dan negara-negara barat lainnya, maupun menyelamatkan Indonesia saat ini, tentu dengan Syari’at Islam………insya Alah!
Dengan melihat sepintas-kilas hukum Islam mengenai administrasi negara, kita dapat mengetahui bagaimana Islam mencegah terjadinya kerusakan di kalangan alat-alat negara/aparat baik di bidang administrasi maupun peradilan. Yaitu dengan mengharamkan pejabat atau pegawai menerima suap, hadiah, hibah, yang diberikan oleh orang-orang tertentu kepada mereka untuk memperoleh jaminan atas kepentingan-kepentingannya.
Islam telah menatapkan beberapa cara memperoleh harta secara tidak sah yang dilakukan oleh para penguas, pejabat, dan pegawai negara pada umumnya, yaitu; menerima suap, hadiah atau hibah, menerima hasil penyalahgunaan kedudukannya sebagai makelar, menerima komisi, korupsi dan menggunakan harta kekayaan yang berada di bawah kekuasaannya dengan cara sewenang-wenang.
Suap misalnya, yang didefinisikan para ulama Fiqh sebagai; semua harta /uang yang yang diberikan kepada seorang penguasa, hakim, atau pejabat dengan maksud untuk memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang mestinya wajib diputuskan tanpa pembayaran dalam bentuk apapun. Pengharaman suap adalah kuat di dasarkan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits, Allah swt berfirman:
﴿وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾
“Dan janganlah ada sebagian kalian makan sebagian harta benda sebagian yang yang lain dengan jalan batil, dan janganlah menggunakannya sebagai umpan(untuk menyuap) para hakim dengan ﴾maksud agar kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui (hal itu)” (QS.Al Baqarah [2]: 188).
Abu dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasululah bersabda:
“Laknat Allah terhadp penyuap dan penerima suap di dalam kekuasaan”
At Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits serupa berasal dari Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Laknat Allah terhadp penyuap dan penerima suap”
Hadits lainnya lagi mengenai soal ini diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani, Al-Bazar, dan Al-Hakim, berasl dari Tsuban yang mengatakan:
“Rasulullah saw. Melaknati penyuap,penerima suap, dan orang yan menyaksikan penyuapan.”
Abu Daawud juga meriwayatkan, Rasulullah bersabda:
“Barang siapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadnya telah kami beri rizki(imbalan gaji), maka apa yang diambil olehnya selainitu adalah kecurangan.”
Adakalanya suap juga diberikan orang dengan maksud agar aparat/ penguasa/ pegawai, menjalankan tugas kewajibannya sebagaimana mestinya. Suap semacam ini yang sangat dihinakan oleh shahabat Nabi, bahkan mereka menolaknya dengan tegas.
Sebuah riwayat berasal dari Sulaiman bin Yassar, mengatakan, bahwa Rasulullah saw, mengutus ‘Abdullah bin Rawahah berangkat ke Khaibar (daerah Yahudi yang baru saja tunduk kepada kekuasaan Islam) untuk menaksir hasil buah kurma di daerah itu, karena Rasulullah saw. Telah memutuskan hasil-hasil buumi Khaibar di bagi dua; separoh untuk kaum Yahudi sendiri yang mengelolanya, dan yang separohnya lagi diserahkan kepada Kaum Muslimin. Ketika Abdullah bin Rawahah sedang menjalankan tugasnya, orang-orang Yahudi dating kepadanyamembawa berbagai perhiasan yang merekakumpulkan dari istri mereka masing-masing. Kepada Abdullah mereka berkata,: “Perhiasan ini untuk anda, ringankanlah kami dan berilah kepada kami lebih dari separoh,” Abdulah menjawab,”Hai kaum Yahudi, demi Allah, kalian memang manusia-manusia hamba Allah yang paling kubenci. Apa yang kalian perbuat itu justru mendorong diriku merendahkan kalian. Suap yang kalian tawarkan itu adalah barang haram, dan kami kaum Muslimin tidak memakannya!” Mendengar jawaban tersebut mereka menyahut,”Karena itulah langit dan bumi tetap tegak!” (Imam Malik, Al Muwattha’:1450).
Ringkasnya ialah bahwa semua harta yang diperoleh melalui suap dipandang sebagai harta haram, bukan milik siapapun, harus disita dan diserahkan kepad Baitul Maal, karena harta yang demikian ini didapat dengan cara yang tidak sah. Penerimanya, pemberinya, perantaranya, wajib dijatuhi hukuman berat, karena praktek suap sangat besar pengaruhnya terhadap semua alat-alat negara dan merusak kepercayaan rakyat.
Islam juga mengharamkan kekayaan gelap yang di dapat secara tidak sah oleh penguasa dan pejabat. Selain itu Islam juga melarang seorang penguasa menyentuh kekayaan umum dengan alas an dan cara apapun, baik alasan penafsiran maupun fatwa dari ulama maupun “aulia”.
Atas dasar hukum-hukum tersebut Islam mengatasi maslah kerusakan administrasi negara ini dengan jelan mewujudkan SISTEM PENGAWASAN diri pribadi di kalangan para pejabat/aparat. Sebab, orang yang benar-benar muslim ia tidak akan berbuat korupsi, tidak akan mau menerima suap, tidak mau mencuri, tidak mau berkhianat, tidak mau berbuat dzalim dan tidak mau menipu; karena tahu bahwa Allah selalu mengawasi dirinya dan menuntut pertanggungjawaban atas setiap kejahatan, yang kecil maupun yang besar. Satu kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi, jika seorang penguas atau pejabat tidak memiliki sifat takwa kepad Allah swt. Serta tidak takut kepada pengawasn=Nya secara lahir-bathin, maka penguas atau pejabat atau aparat yang demikian pasti bersikap menindas rakyat dan bertindak sewenang-wenang!!
PENUTUP
Demikianlah Islam tidak akan segan-segan untuk mengambil tindakan terhadap berbagai tindak penyalahgunaaan wewenang, jabatan dan kedudukan. Hukum Islam cukup efektif untuk menghilangkan sebab-sebab yang menimbulkan kerusakan administrasi negara, untuk menjaga keselamatan kekayaan, tanah property, sumber daya alam dan semua milik negara maupun milik umum dan pribadi rakyat. Karena itupenerapan hukum Islam akan dapat menaggulangi krisis administrasi negara akibat kesewenang-wenagan para penguasa dan para pejabat terhadap rakyat; atau akibat tindak perkosaan yang mereka lakukan terhadap harta kekayaan milik rakyat, baik dilakukan melalui paksaan, kekerasan, tekanan kekuasaan, atau dengan cara penerimaan suap, hibah, hadiah,; atau akibat tindak korupsi terhadap harta negara dan kekayaan rakyat dengan penipuan dan pengelabuan; ataupun akibat praktek makelar proyek dan penerimaan komisi tanpa sepengetahuan negara atau melalui jalan belakang.
Semua ini akan segera dapat di hapuskan dengan senjata yang ampuh berupa system administrasi negara Islam yang telah nyata terbukti menghancurkan keboborokan administrasi yang diwariskan peradaban sebelumnya, padahal Islam belajar dari teknik mereka, tetapi karena adanya mafahim indhibath syar’iyy(kedisiplinan hukum) dalam wadah institusi negara, menjadikan Kaum Muslimin mampu memimpin manusia kejalan petunjuk….InsyaAllah, amiin……..

Akrab dengan Al-Quran

Al-Quran yang mulia adalah firman Allah Swt. Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad saw., melalui wahyu yang dibawa oleh Jibril, baik lafadz maupun maknanya; membacanya merupakan ibadah. Al-Quran merupakan mukjizat yang sampai kepada kita secara mutawatir. Allah Swt. berfirman:
لاَ يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Tidak datang padanya kebatilan dari sebelum dan sesudahnya, diturunkan dari Dzat yang Maha Bijak dan Terpuji.. (TQS. Fush Shilat [41]: 42)
Al-Quran adalah kitab yang dijaga dengan penjagaan Allah sendiri. Allah berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesunguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran dan Kami pasti akan menjaganya. (TQS. Al-Hijr [15]: 9)
Al-Quran adalah kitab yang akan mengidupkan jiwa dan menentramkan hati. Al-Quran mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan izin Tuhan mereka yang Maha Perkasa dan Terpuji. Barang siapa yang berkata dengan menggunakan Al-Quran ia akan terpercaya; yang mengamalkannya akan bahagia; yang memutuskan hukum dengannya pasti akan adil; dan yang mendakwahkannya ia telah menunjukkan kepada jalan yang lurus.
Al-Quran adalah sebaik-baik bekal bagi setiap muslim. Al-Quran akan menjadi penguat bagi para pengemban dakwah. Dengan Al-Quran hati akan menjadi lapang. Para pengemban Al-Quran akan menjadi kokoh bagaikan gunung yang berdiri kokoh; dunia pun akan menjadi hina baginya ketika berada di jalan Allah. Ia akan senantiasa mengatakan yang hak dan tidak takut celaan, di jalan Allah, dari orang-orang yang suka mencela. Dengan Al-Quran ia akan mampu bergerak cepat. Pengemban Al-Quran lebih berat timbangannya di sisi Allah daripada gunung Uhud, karena ia senantiasa membaca Al-Quran hingga lisannya menjadi basah, dan jari-jemarinya akan menjadi saksi.
Seperti itulah para sahabat Rasulullah saw. menjalani kehidupan dunia ini. Mereka seakan-akan Al-Quran yang bergerak. Mereka senantiasa menelaah ayat-ayatnya, membacanya dengan baik, mengamalkan isinya dan mendakwahkannya. Ayat-ayat tentang adzab menggetarkan jiwa mereka, sedangkan ayat-ayat tentang rahmat melapangkan dada mereka. Air mata mereka pun bercucuran karena tunduk akan kemukjizatan dan keagungannya. Mereka berserah diri terhadap segala hukum dan hikmahnya. Mereka telah menerima Al-Quran langsung dari Rasulullah saw. sehingga ayat-ayatnya terpatri kuat dalam lubuk hati mereka yang paling dalam. Karena itulah mereka menjadi manusia-manusia mulia dan menjadi para pemimpin; menjadi orang-orang yang berbahagia dan gembira. Ketika ditinggalkan Rasulullah saw. mereka tetap konsisten memperhatikan Al-Quran, sebagaimana wasiat Rasulullah saw. Maka para penghafal di kalangan sahabat senantiasa ada di barisan pertama ketika melaksanakan amar bil ma’ruf nahyi anil munkar. Para pengemban Al-Quran senantisa menjadi barisan terdepan dalam segala kebaikan dan dalam menghadapi segala macam rintangan di jalan Allah Swt.
Sudah selayaknya Al-Quran menjadi penyiram hati bagi kaum Muslim umumnya, dan bagi para pengemban dakwah khususnya. Al-Quran selayaknya juga menjadi pengiring setiap langkah mereka. Mereka seharusnya dipimpin oleh Al-Quran menuju setiap kebaikan. Al-Quran pun akan mengangkat kedudukan mereka lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Mereka harus senantiasa memperhatikan Al-Quran siang maupun malam; senantiasa membacanya, menghafalnya serta mengamalkannya. Sehingga mereka akan menjadi sebaik-baik pengikut dari generasi salaf (terdahulu) maupun generasi khalaf (belakangan).
Marilah kita perhatikan ayat-ayat Al-Quran beserta hadits nabi yang menceritakan tentang turunnya Al-Quran, tentang jaminan terpeliharanya, tentang petunjuknya, dan tentang keutamaan membacanya, serta tentang segala kebaikan yang sangat banyak kandungannya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesunguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran dan Kami pasti akan menjaganya. (TQS. Al-Hijr [15]: 9)
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (TQS. Al-Isra [17]: 9)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (TQS. Ibrahim [14]: 1)
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (TQS. An Nisa [4]: 82)
Rasulullah saw. bersabda :
«خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ»
Orang yang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya. (HR. Bukhari dari Utsman bin Affan r.a)
«مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ»
Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa “alif lam mim” adalah satu huruf. Akan tetapi Alif adalah satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim juga satu huruf. (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud, dan ini hadits shahih)
«الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ»
Orang yang mahir dengan Al-Quran akan bersam-sama dengan para malaikat yang mulia dan senantiasa berbuat baik. Dan orang yang membaca Al-Quran tapi terbata-bata dan sangat berat baginya, ia akan mendapatkan dua pahala. (HR. Muslim dari ‘Aisyah, Ummul Mukminin. r.a)
«إِنَّ الَّذِي لَيْسَ فِي جَوْفِهِ شَيْءٌ مِنْ الْقُرْآنِ كَالْبَيْتِ الْخَرِبِ»
Sesungguhnya orang yang dalam hatinya tidak ada Al-Quran sedikitpun bagaikan rumah yang akan roboh. (HR. At-Tirmudzi, Ia menshahihkannya. Dan ini adalah hadits shahih).
«اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا ِلأَصْحَابِهِ»
Bacalah Al-Quran, karena Al-Quran akan datang pada hari Kiamat kelak memberi syafa’at (pembelaan) bagi ahlinya. (HR. Muslim dalam kitab shahihnya. Dari Abu Umamah Al-Bahili ra.)
«إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ»
Sesungguhnya Allah akan mengangkat (menuju kemuliaan, penj.) dengan Al-Quran ini kepada suatu kaum dan dengannya pula Allah akan menjatuhkan (menuju kehinaan, penj.) kepada kaum yang lain. (HR. Muslim)
Abu Dawud dan At-Tirmidzi telah mentakhrij hadits yang sahih bahwa Rasulullah bersabda :
«يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا»
Kelak (di akhirat) akan dikatakan kepada Shahibul Quran (orang yang senantiasa bersama-sama dengan Al-Quran, penj.) bacalah, naiklah terus dan bacalah dengan perlahan-lahan (tartil) sebagaimana engakau telah membaca Al-Quran dengan tartil di dunia. Sesungguhnya tempatmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.
«مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ اْلأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ التَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلاَ رِيحَ لَهَا وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلاَ رِيحَ لَهَا»
Perumpamaan orang mukmin yang membaca Al-Quran adalah seperti buah Utruja, rasanya enak baunya harum. Perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al-Quran adalah seperti buah Tamrah (kurma), rasanya enak tapi tidak wangi. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Quran adalah seperti buah Raihanah, rasanya pahit tapi baunya harum. Dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Quran adalah seperti buah Handzalah, rasanya pahit dan tidak wangi. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ary ra.)
«تَعَاهَدُوا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ اْلإِبِلِ فِي عُقُلِهَا»
Perhatikanlah Al-Quran! Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada ditangan-Nya, sesungguhnya Al-Quran lebih cepat kaburnya (dari ingatan) dari pada unta dalam tambatannya. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ary ra.)
Ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits di atas mendorong pengemban Al-Quran untuk menelaahnya, mengamalkannya serta senantiasa memperhatikannya, di saat mereka tinggal di rumah atau ketika sedang di perjalanan. Dengan begitu Al-Quran akan menjadi sebuah kekuatan dalam menempuh seluruh jalan kebaikan. Mereka tidak akan menyimpannya di rak hingga dipenuhi debu. Mereka pun tidak akan menghiasinya kemudian menyimpan di lemari, lalu dikunci hingga melupakannya.
Karena itu marilah kita memperhatikan Al-Quran wahai saudar-saudaraku. Mari kita bergegas untuk membacanya dengan benar, menelaahnya dengan benar, mengamalkannya dengan benar, dan terikat padanya dengan benar; agar rasa kita menjadi enak dan bau kita menjadi harum mewangi. Dengan semua itu marilah kita menjadi barisan pertama dalam mengemban dakwah di dunia ini, mudah-mudahan kita menjadi barisan pertama kelak di surga dan hari Akhir, ketika dikatakan nanti, “bacalah dan naiklah terus.!”. Dengan demikian semoga kita termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan pertolongan Allah Yang Agung, dan meraih kebahagian yang tiada taranya, serta berhak mendapatkan ridha Allah Swt. Allah berfirman:
وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Bergembiralah wahai orang-orang yang beriman (TQS. Al-Ahzab [33]: 47)
Ya, jadilah kita orang yang akrab dengan Al Quran, insyaallah sukses dunia akhirat! Amien!

Koreksi terhadap konsep pemberdayaan ekonomi perempuan

Dari beberapa fakta dan kasus yang terjadi diatas menunjukkan adanya usaha untuk memperjuangkan kaum perempuan untuk dapat beraktivitas dalam sektor publik. Ini tidak terlepas dari misi kaum feminis yang menuntut adanya kesetaraan jender, salah satunya mereka memperjuangkan pemberdayaan perempuan bidang ekonomi sampai pada tataran menjadikannya ke dalam sebuah kebijakan.
Kegigihan kaum feminis untuk memperjuangkan adanya kesetaraan jender dilatarbelakangi oleh adanya berbagai fakta di lapangan yang menurut mereka, menunjukkan adanya ketidakadilan, kekerasan atau penindasan yang dialami perempuan. Misalnya kaum feminis menolak peran domestik wanita karena dianggap sebagai bentuk penindasan. Mereka menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang tidak produktif, sehingga mereka akan tergantung secara ekonomi kepada kaum pria akibatnya wanita tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat, sehingga wanita bisa diperlakukan seenaknya oleh kaum pria. Hal inilah yang biasanya mereka sebut sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Karena itulah kaum feminis menganjurkan para wanita untuk terjun ke sektor publik untuk membuktikan bahwa wanita memang setara dengan kaum pria.
Pola piker feminis lahir dari sekulerisasi dan kapitalisme yang melahirkan cara berfikir demokrasi.
Pada kenyataannya ketika para wanita terjun ke sektor publik, banyak persolaan yang muncul menghadang mereka. Ini kemudian memaksa kaum feminis untuk mencari solusi dari permasalahan yang sesungguhnya mereka buat sendiri. Mereka menuntut ada perwakilan wanita di parlemen agar dapat menyuarakan aspirasi wanita. Semakin banyak jumlah wanita yang menjadi anggota parlemen, menurut mereka, maka semakin banyak hal-hal yang bisa mereka perjuangkan.Yang pada akhirnya mereka menelorkan/menetapkan beberapa kebijakan atau konsep sebagaimana halnya diatas.
Salah satunya adalah Tap MPR No. VI tahun 2002 yang menyatakan “gender” sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi. Oleh karena itu ada beberapa kelompok yang menuntut kapada kaum wanita untuk bekerja dan berusaha bagaimana memulihkan kondisi perekonomian saat ini sekaligus dengan dalih untuk mengangkat derajat kaum wanita serta untuk menyelesaikan persoalan wanita. Begitu juga kebijakan-kebijakan yang lain dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan yang notabene pemekiran mereka dipengaruhi oleh prinsip individualisme (buah dari demokrasi), yang menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu, pria di satu sisi dan perempuan di sisi lain. Salah satu contohnya, ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, mereka lantas memandang persoalan tersebut secara parsial, yakni sebagai persoalan internal kaum petrempuan yang harus diselesaikan oleh permpuan. Akhibatnya, pecahan yang dimunculkan pun menjadi parsial dan tidak memberikan penyelesaian tuntas, karena hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni perspektif perempuan.
Pada faktanya kebijakan yang ditetapkan oleh menteri pemberdayaan sebagaimana hal diatas yang berupaya untuk meningkatkan produktifitas ekonomi perempuan ternyata justru semakin meningkatkan eksploitasi terhadap perempuan. Apabila penempatan makna produktivitas ekonomi perempuan hanya diartika sebagai peran perempuan ke segala bidang dengan terjun langsung secara maximal disana dan standar keberhasilannya hanya berupa materi yaitu terpenuhi kebutuhan keluarga (skala kecil) dan pertumbuhan ekonomi nasional baik (skala nasional), maka ini bisa dikategorikan pengeksploitasian perempuan karena menyebabkan pennyimpangn/pengalihan terhadap potensi perempuan yang sebenarnya lebih-lebih jika meninggalkannya. Beda bila makna produktifitas wanita dinilai dengan keberhasilan dia mencetak generasi yang berkepribadian luhur sebagai penerus bangsa dan negara. Maka perempuan dikatakan produktif bila dia mampu melahirkan sosok-sosok penerus bangsa yang unggul.
Adanya konsep pemberdayaan ekonomi perempuan yang salah akan memberikan dampak negatif yaitu sebagai berikut:
Dampak terhadap keluarga
Bila kita lihat dari satu sisi, mungkin dalam hal materi fisik kesejahteraan keluarga dan anak-anak mereka terselesaikan, tetapi mereka lupa bahwa keluarga terutama anak-anak mereka tidak hanya membutuhkan materi saja. Fakta berbicara ketika suami danistri sibuk diluar terus, perhatian terhadap keluarga berkurang, ini awal dari keretakan keluarga. Anak-anak kurang diperhatikan, kurang kasih sayang sehingga menjadikan frustasi walhasil mereka melampiaskan ke narkoba, dugem, obat-obat terlarang dll, belum lagi hubungan dengan suami tidak harmonis, kesibukan ini menjadiakn perempuan lupa/ mengabaikan tugas utamanya sebagai ummu warabatul baitu bahkan menjadikan dia enggan melahirkan dan menyusui.Yang terpatri dalam pemahamam dia, perempuan tidak harus disitu tugasnya. Kondisi seperi ini yang berbicara adalah ego masing-masing, merasa dapat menghidupi keluarga sehingga tak ada yang mau mengalah, lagi-lagi anak yang menjadi korban, baiti jannati menjadi baiti nari. Ini adalah krisis yng banyak kita kita temui, ank-nak yng menjadi gererasi penerus bangsa, benih yang dicetak sejak dini yng harapannya menjadi benih unggulan teryata kandas karen terlahir dan terdidik dikeluarga seperti itu.
2. Dampak terhadap masyarakat dan negara
Tidak sampai di situ saja, lebih jauh lagi ternyata konsep pemberdayaan ekonomi perempuan berdampak terhadap kehidupan di masyarakat dan negara. Seperti yang kita lihat adanya berbagai acara/kegiatan yang sangat gencar saat ini, misalnya Kontes Kecantikan (Miss Universe,Ind. Model),Kontes Akademia (AFI, Ind. Idol, dll) yang sebagian besar diikuti oleh kaum hawa yang secara tidak langsung membawa/ mengusung gaya hidup tertentu yang akan mempengaruhi masyarakat. Mulai dari cara berpakaian mereka, atau dari hadiah-hadiah yang mereka tunjukkan sehangga menarik masyarakat untuk mengikuti acara tersebut. Semua ini jelas akan mempengaruhi dan mengubah cara berpikir masyarakat menjadi masyarakat yang materialistis dan hedonis.
Begitu juga dengan banyaknya wanita yang disibukkan bekerja (“fakta berbicara”) seperti para pekerja pabrik/industri, tenaga kerja wanita (TKW) yang mayoritas kaum hawa, sehingga mereka melupakan peran sebenarnya di tengah-tengah masyarakat sebagai seorang wanita. Bahkan mereka tidak sadar, karena kesibukannya bekerja mereka melupakan tugas sebenarnya sebagai seorang ibu hingga tidak ada waktu untuk mendidik anak-anaknya. Anak-anak yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa, yang akan mengubah kondisi bangsa ini menjadi lebih baik dan benar, justru menjadi generasi “tempe”, generasi “bebek”. Inilah buah nyata dari Kapitalis yang selama ini melekat dan mengelilingi negeri ini. Na’udzubillah !!

ISLAM SPIRITUAL DAN POLITIK

Islam kaffah. Itulah tuntutan Allah SWT kepada kita sebagai muslim (lihat QS. Al Baqarah 208). Kita pun, sebagai muslim, senantiasa berdoa memohon kebaikan dan kesuksesan hidup di dunia maupun di akhirat, sebagaimana diajarkan Allah SWT dalam firman-Nya:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Dan di antara mereka ada orang yang berdo`a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".(QS. Al Baqarah 201).
Persoalannya sering kita tidak sadar dengan doa yang senantiasa kita panjatkan itu. Kita mengabaikan petunjuk-petunjuk Allah SWT agar sukses di dunia dan di akhirat. Tidak jarang di antara kita “ngoyo” mencari dunia, pergi subuh pulang malam, lupa sholat, lupa doa, lupa Allah SWT. Seolah-olah dengan harta yang kita uber itu semua persoalan bisa kita selesaikan. Ada pula di antara kita yang nongkrong di masjid terus-menerus, tak pernah keluar berusaha mencari kehidupan, pasrah dengan perkembangan di luar yang mengarah kepada deislamisasi segala sisi kehidupan. Seolah-olah krisis ekonomi, kebobrokan birokrasi, korupsi dan kolusi yang merejalela, dekadensi moral, kriminalitas, dan lain-lain akan terkikis habis dengan doa-doa dan istighotsah yang mereka panjatkan. Ada juga di antara kita yang rajin mengerjakan perintah sholat, puasa, dan ibadah ritual lainnya, namun dalam berbagai aspek kehidupan mereka membuat pemecahan problem dengan cara-cara dari luar Islam. Dalam politik, mereka pakai demokrasi, bahkan ada yang pakai premanisme. Dalam masalah ekonomi, mereka pakai cara kapitalis dan lintah darat. Seolah tidak ada ruang bagi Allah SWT untuk mengatur kehidupan selain dzikir, tahlil, sholat, sholawat, dan sebagainya. Inilai berbagai bentuk ketidak-nyambungan antara doa “sapujagad” kita di atas dengan aktivitas alias usaha yang kita lakukan.
Oleh karena itu, kita perlu menata kembali format berfikir kita tentang Islam, agama yang kita peluk, dan kita cintai, serta kita tekadkan untuk kita bawa mati ini.
Islam mengatur masalah spiritual
Jelas sebagai agama samawi (yang turun dari langit) Islam menjelaskan secara gamblang urusan pahala dan dosa alias urusan akhirat. Islam menjelaskan secara gamblang tentang kehidupan setelah dunia. Setelah kiamat, manusia dibangkitkan dari kuburnya, digiring ke padang mahsyar, untuk ditanyai segala perkara: tentang penggunaan umurnya, penggunaan tubuhnya, pengunaan ilmunya, darimana harta diperolehnya dan untuk apa dibelanjakannya, lalu dihitung dan ditimbang amal sholeh dan salahnya, lalu diberi keputusan: apakah dia masuk ke surga ataukah ia dilemparkan ke jurang neraka jahanam!
Ayat-ayat Al Quran yang mengabarkan berita-berita akhirat sangat banyak dan gamblang. Juga banyak hadits-hadits yang memberikan perincian. Dia antaranya adalah firman Allah SWT:
يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ(٦)
Pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.(QS. AL Mujadilah 6).
الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.(QS. Al Mukmin 17).
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَه(١٩)إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ(٢٠)فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ(٢١)فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ(٢٢)قُطُوفُهَا دَانِيَةٌ(٢٣)كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ(٢٤)وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ(٢٥)وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ(٢٦)يَا‎لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ(٢٧)مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ(٢٨)هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ(٢٩)خُذُوهُ فَغُلُّوهُ(٣٠) ثُمَّ الْجَحِيمَ صَلُّوهُ(٣١)ثُمَّ فِي سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُونَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوهُ(٣٢)إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ(٣٣)
Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: "Ambillah, bacalah kitabku (ini)". Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai, dalam surga yang tinggi. Buah-buahannya dekat, (kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu".Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: "Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku"(Allah berfirman): "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya." Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar.”(QS. AL Haaqqah 19-33).
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan suatu hadits dari Ibnu Umar r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:
يَقْبِضُ اللهُ اْلأَرْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ: أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُكُ اْلأَرْضِ
“Kelak di hari kiamat Allah menggenggam bumi dan menggulung langit dengan tangan kanan kekuasaan-Nya, kemudia Dia berfirman: “Akulah Raja, dimanakah raja-raja bumi sekarang?”
Masih banyak lagi ayat-ayat dan hadits yang berbicara tentang surga, neraka, pahala, dan dosa yang memberikan bekal spiritualitas bagi seorang muslim yang akan membuatnya semakin mendekatkan diri dengan Allah SWT dengan semakin rajin dan mantap melaksanakan sholat, berpuasa, berdzikir, membaca Al Quran dan lain-lain.
Islam mengatur masalah politik
Tidak seperti agama-agama lain yang umumnya hanya bicara masalah spiritualitas, Islam ternyata menjelaskan dan mengatur urusan keduniaan, baik secara global maupun secara rinci. Seluruh urusan umat diatur oleh Islam dengan hukum syariahnya. Islam menjelaskan hukum-hukum berkaitan dengan masalah-masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Dalam menjaga harmoni kehidupan di masyarakat Islam menjelaskan hukum-hukum seluruh aspek kehidupan di atas sekaligus sanksi-sanksi hukum (nizham al ‘uquubaat) terhadap pelanggaran hukum-hukum syariah Islam itu. Islam juga menjelaskan hukum tentang ketatanegaraan, sistem negara Khilafah Islamiyah, yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukum syariah Islam yang kaffah itu.
Ajaran Islam yang lengkap itu, yang tidak hanya mengajarkan spiritualitas, tapi juga masalah politik dalam arti pengaturan dan pemeliharaan seluruh urusan umat (ri’ayah syu-unil ummah) , dapat secara jelas kita lihat secara konseptual dalam kitab-kita fiqh. Buku fiqih yang sederhana semacam Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid memuat bab Al Khilafah setelah pembahasan bab Toharoh, bab Sholat, bab Jenazah, bab Zakat, bab Puasa, bab Haji dan Umrah, bab Muamalat, bab pembagian Harta Pusaka (Faraidl), bab Nikah, bab sanksi hukum pidana (Jinayat dan Hudud), bab Peperangan (jihad), bab Makanan dan Sembelihan, dan bab Pengadilan. Masalah khilafah sebagai suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan Rasulullah saw. dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin, kata Rasyid (hal 494), tak pernah lepas dari beberapa hukum, terutama mengenai penyusunan negara, kepala negara, pemilihan khalifah, hak memilih dan dipilih, dan sebagainya.
Kitab Fiqh yang lebih besar seperti Al Umm karya Imam As Syafii r.a. (hidup di masa Khalifah Harun Ar Rasyid dan AL Makmun dari khilafah dinasti Abbasiyyiah, wafat pada tahun 204H/820M, lihat Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi islam Jilid 4 hal 326) membahas secara rinci tentang berbagai fiqh muamalat, jinayat, jihad, penaklukan dan perdamaian, jizyah, penanganan kafir dzimmi disamping uraian berbagai bidang syariat Islam lainnya (lihat Imam As Syafii, Al-Umm, Kitab Induk, terj. Jilid 6 hal 190, 266, 269, 317, 324, ).
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, seorang mujtahid abad 20, menulis secara lebih rinci dan sistematis yang memberikan gambaran pengaturan Islam dalam politik dalam berbagai kitab karangannya, seperti Nizhamul Hukm fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam), Nizhamul Iqtishodi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam), An Nizham al Ijtima’I fil Islam (Sistem Sosial/Pergaulan Pria Wanita dalam Islam), Muqaddimah Dustur (Pengantar Konstitusi), dan lain-lain.
Buku-buku sejarah Islam, peninggalan sistem peradilan (mahkamah syari’iyyah), dan berbagai jabatan di masa akhir Khilafah Islamiyah dan daerah-daerah bekas kekuasaan Khilafah yang dijajah kaum imperialis Barat, khsusnya di Timur Tengah memberikan bukti adanya pengaturan islam dalam masalah politik. Demikian juga penggunaan gelar para penguasa di berbagai negeri Islam, termasuk di Indonesia seperti sultan, qadi, dan sebagainya menunjukkan hal itu. Misalnya saja gelar raja Jawa: Sultan Abdul Hamid Sayidin Panotogomo Khalifatullah. Demikian juga penggunaan bahasa Arab dalam istilah politik dan hukum di atas atau penamaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat (berasalam dari kosakata Arab majlis, musyawarah, ra’iyyah, wakiil, dan diwan) menunjukkan dengan jelas bahwa Islam bukanlah agama spiritual belaka, tapi juga agama politik.
Khatimah
Oleh karena itu, mempelajari, memahami, dan berjuang mewujudkan kembali eksistensi Islam sebagai agama spiritual dan politik secara kaffah, merupakan tugas suci yang harus diemban setiap muslim sampai akhir hayatnya. Melalaikan hal itu, apalagi menyesatkan masyarakat dengan mempropagandakan bahwa Islam itu tidak pernah membahas politik dan jangan dicampuri dengan politik, adalah suatu penyimpangan dan perbuatan dosa yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Menerima sebagian Islam (masalah spiritualitas dan moralitas saja) dan menolak sebagian yang lain (politik, ekonomi, dan lain-lain), merupakan penyimpangan dari Islam sebagaimana orang kebiasaan Yahudi yang diancam oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.(QS. Al Baqarah 85).

Islam, Jalan Hidup Yang Sempurna

Islam adalah jalan hidup yang diturunkan Allah SWT, Dzat yang menciptakan manusia, seluruh alam semesta, dan seluruh kehidupan yang terdapat di dalamnya. Dia yang menciptakan manusia, menghidupkan mematikan, dan memberikan seluruh sarana hidup serta memberikan petunjuk yang paripurna untuk manusia agar bisa menjalani hidup di alam semesta ini dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan bentukan dan sifat-sifat alamiah kemanusiiaannya, sehingga manusia dapat meraih kesejahteraan dan kebahagiaan. Allas SWT memastikan bahwa Islam sebagai diin atau peraturan hidup yang sempurna dalam firman-Nya:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al Maidah 3).
Al Ustadz Ali As Shobuni dalam Shafwatut Tafaasiir Juz I/302 mengatakan yang dimaksud dengan akmaltu lakum dinakum pada ayat itu adalah Aku telah sempurnakan syari’at Islam dengan penjelasan halal-haramnya. Sedangkan kata nikmatii dalam lanjutan ayat itu beliau tafsirkan sebagai penyempurnaan Allah terhadap nikmatnya dengan hidayah atau petunjuknya dan taufiq atau bimbingan-Nya kepada umat manusia dalam menuju jalan yang lurus. Adapun kalimat warodliitu lakumul islam diian dalam lanjutan ayat itu beliau terangkan bahwa Allah telah memilih dinul Islam di antara agama-agama lain untuk kalian. Islamlah satu-satunya agama yang diridloi dan Allah tidak akan menerima selainnya. As Shobuni mendasarkan keterangan terakhirnya itu pada firman-Nya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.(QS. Ali Imran 85).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsir Al Quranul Azhim Juz II/12 mengatakan bahwa merupakan nikmat terbesar umat ini tatkala Allah menyempurnakan agama mereka sehingga mereka tidak memerlukan agama atau peraturan selain Islam dan tidak memerlukan nabi selain nabi mereka (Muhammad saw.). Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad saw. sebagai penutup para Nabi dan Dia utus kepada manusia dan jin. Maka tidak ada halal kecuali yang dia halalkan dan tidak ada haram kecuali yang dia haramkan. Dan tidak ada agama kecuali yang dia syari’atkan. Dan setiap sesuatu yang dia kabarkan adalah benar dan bukan dusta.
Syaikh An Nawawi al Jawi dalam Tafsir Munir Juz I/191 mengatakan bahwa Allah SWT menyempurnakan agama kalian kepada kalian dengan memberkan pertolongan dan kemenangan terhadap seluruh agama lain dan memutuskan ketetapan agama itu hingga hari kiamat. Allah SWT menyempurnakan nikmatnya dengan pembebasan kota Makkah dan memasukinya dengan aman serta wewenang tunggal kaum muslimin terhadap tanah haram. Yang menarik, dalam bagian sebelumnya dari ayat ini, ketika menafsirkan firman-Nya:
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ
Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. (QS. Al Maidah 3).
Syaikh An Nawawi mengatakan bahwa pada saat turunnya ayat itu (hari Arafah pada haji wada’) orang-orang kafir Makkah telah putus harapan dalam membatalkan urusan agama kaum muslimin dan Allah melarang kaum muslimin takut kepada mereka dalam berbeda dengan orang-orang musyrik itu dalam syari’at dan agama. Sebab, Allah SWT telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kalian dengan negara yang adikuasa (daulah qahirah) dan kekuatan yang besar (al quwwah al azhiimah) dan kaum musyrikin itu pun tunduk dan hina di sisi kalian. Oleh karena itu, Allah SWT meminta agar kaum muslimin takut kepada Allah SWT semata, yaitu takut dalam meninggalkan agama Islam dan mengikuti Nabi Muhammad saw.
Islam Mengatur Seluruh Aspek Kehidupan
Sebagai agama yang disempurnakan oleh Allah SWT, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Islam mengatur hubungan seorang manusia dengan Sang Penciptanya (Al Khalik) yakni Tuhan pencipta alam semesta, hubungannya dengan dirinya sendiri, dan hubungannya dengan individu-individu lain di antara anak manusia. Islam mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dalam berbagai peraturan tentang kepercayaan (aqaa’id) dan peribadatan. Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam berbagai peraturan tentang makanan, pakaian, dan moral atau akhlaq. Islam mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dalam berbagai peraturan tentang mu’amalat (jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dll) serta berbagai peraturan yang mengatur tentang kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat sehingga terwujud masyarakat Islami yang tertib menurut aturan Allah SWT. Islam juga memiliki aturan sanksi hukum pidana (uquubaat) untuk menjaga seluruh tertib hubungan manusia di atas.
Dengan peraturan Islam itu dimensi kehidupan manusia akan teratur dan terdisiplinkan. Sebab, ketika seorang muslim menjalani hidup, dia akan berfikir dan menyadari bahwa dia adalah hamba Allah yang bakal kembali kepada-Nya. Innaa lillahi wainnaa ilihi raaji’un! Kita adalah milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya. Kelak di akhirat Allah akan mengabarkan seluruh perbuatan manusia di dunia. Dia berfirman:
إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.(QS. AL Maidah 105).
Dan sekecil apapun perbuatan, yang baik maupun yang buruk, tidaklah boleh kita anggap remeh. Sebab, semuanya akan diberi balasan dan semuanya bakal dilihat oleh pelakunya sendiri. Dia berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ(٧)وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ(٨)
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (QS. Al Zalzalah 7-8).
Oleh karena itu, Islam secara rinci mengatur masalah peribadatan (sholat, zakat, puasa, haji, doa, dzikir, baca Al Qura’an dan lain-lain) agar segala yang dilakukan manusia hanya tertuju kepada Allah semata. Ketika seseorang membaca doa iftitah, dia membuat pernyataan kepada Allah SWT: “Innasholati wanusuki wamahyaaya wamamaati lillahi rabbil alamin. Laa syarikalahu wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin”. : “Sesuangguhnya sholatku, ibadah(korbanan)-ku, hidupku, dan matiku, kuserahkan kepada Allah Rabbul Alamin, Tuhan Pencipta dan Pemelihara alam semesta”.
Allah SWT telah menyatakan bahwa siapapun manusia hanya Dia perintahkan untuk beribadah kepada Allah SWT semata. Dia berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, (QS. Al Bayyinah 5).
Kebersihan dan kejernihan aqidah ini penting agar manusia secara sadar mengikuti peraturan Allah tanpa paksaan dan hanya dengan keimanan (pembenaran pasti) dan kesadaran yang benar terhadap kelayakan dan kewenangan hukum peraturan tersebut untuk dijalankan oleh manusia dan atas manusia. Semakin kuat iman seseorang, semakin tekun ibadahnya, sehingga semakin terikat pikirannya kepada Allah SWT Sang Pembuat Peraturan untuk hidupnya. Sehingga setiap ia menjalankan peraturan agama dalam aspek apapun ia antusias dan memiliki harapan akan janji Allah yang dia puja dan ia cintai. Allah SWT memberikan petunjuk kepada manusia bahwa aktivitas melaksanakan peraturan agama Allah adalah simpanan abadi yang lebih baik dan lebih bisa diharapkan. Dia SWT berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.(QS. AL Kahfi 46).
Dengan demikian ketika seorang manusia yang memiliki aqidah Islam tersebut memakan makanan yang dihalalkan Allah SWT, dia berharap dengan melakukan aktivitas yang diperintahkan Allah (lihat QS. An Nahl 114) akan lebih dicintai Allah dan mendapatkan barakah-Nya. Maka dia berdoa: “Allahumma baariklana fiimaa razaqtanaa waqinaa adzabannaar!” (“Ya Allah, berilah barakah pada apa yang Engkau rizkikan kepada kami dan selamatkanlah kami dari api neraka”).
Tatkala seorang muslim pakaian yang menutup aurat, dia sadar bahwa itu adalah menjalankan perintah-Nya karena ketaqwaan kepada-Nya (lihat QS. Al A’raf 26). Tatkala seorang wanita muslimah mengenakan kerudung penutup kepala (khimar) dan berjilbab tatkala hendak keluar rumah, maka dia sadar bahwa dia sedang memenuhi perintah Allah SWT yang memelihara kehormatannya (lihat QS. An Nuur 31 dan Al Ahzab 59).
Tatkala seorang muslim menghiasi dirinya dengan sifat moral yang mulia (akhlaqul karimah) dia sadar bahwa itu semata mengikuti perintah Allah. Demikian pula tatkala dia menjauhi sifat moral yang buruk (akhlaq madzmumah), itu adalah karena menjauhi larangan Allah. Dia SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. An Nahl 90).
Ketika bergiat dalam ekonomi, seorang muslim akan mengembangkan jual beli dan menjauhi riba dalam segala bentuknya sejauh-jauhnya karena dia sadar bahwa Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dia berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(QS. AL Baqarah 275).
Ketika berpolitik, seorang muslim menyadari bahwa partai politik itu tugasnya hanyalah menyeru manusia kepada Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar, bukan sekedar rebutan kekuasaan. Dan ia sadar bahwa kekuasaan mestinya adalah untuk mengatur urusan umat agar selamat sejahtera dan hidup sesuai aturan Islam sehingga bahagia di dunia maupun di akhirat kelak. Allah SWT berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(QS. Ali Imran 104).
Dan ketika kaum muslimin dikokohkan kedudukannya oleh Allah SWT, merea menegakkan sholat, membayar zakat, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar (lihat QS. AL Hajj 41). Masih banyak perkara yang telah diatur oleh Islam yang tidak bisa dipaparka satu-persatu di dalam ruangan yang sempit ini. Yang jelas, kesempurnaan Islam telah jelas di dalam sumber-sumber ajarannya dan telah pernah diwujudkan secara sempurna selama berabad-abad di masa Rasulullah saw. dan para khalifah sesudahnya dalam negara khilafah ala minhajinn nubuwwah. Kapankah kita mewujudkan kembali kesempurnaan itu? (MA, 210503).